Jumat, 02 Desember 2011

Wajah Baru KPK


Dari kiri ke kanan: Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. 


Terpilihnya Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebagai pimpinan KPK dengan Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru membuka harapan bagi penegakan tindak pidana korupsi yang belakangan ini belum menemukan titik terang. Dengan adanya empat orang tersebut di posisi strategis dalam proses memberantas korupsi ini jelas memberikan peluang besar untuk memperbaiki kinerja KPK yang sebelumnya masih kurang "greget".
Abraham mendapat 43 dari 56 suara anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemungutan suara pada Jumat (2/12/2011). Abraham mengalahkan empat pimpinan KPK yang lebih senior darinya yakni Bambang Widjojanto (4 suara), Busyro Muqoddas (5 suara), Adnan Pandu Praja (1 suara), dan Zulkarnain (3 suara).
 
Sebagai ketua KPK yang baru, Abraham Samad harus berani dan tegas dalam memberantas kasus-kasus korupsi sekalipun melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara. Sebagai pribadi yang independen dan tergolong dalam usia yang relatif muda (kelahiran 27 November 196), Abraham Samad jelas memiliki jiwa dan semangat baru untuk mendukung terlaksananya Indonesia bersih korupsi. Memang hal yang tidak mudah menyelesaikan kasus korupsi yang sedemikian kompleksnya. Abraham Samad harus membuktikan bahwa dirinya merupakan sosok pemimpin yang memiliki integritas tinggi.


Mari kita dukung sosok Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebagai pimpinan KPK yang baru. Semoga di tangan mereka, KPK dapat menjadi lembaga yang mampu menangani kasus korupsi yang telah mengakar di negeri ini. AMDG

Kamis, 01 Desember 2011

Sebuah Catatan untuk Indonesia

Enam puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Telah terjadi dinamika yang begitu kompleks dalam proses menjadi sebuah bangsa, namun apakah selama itu Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai bangsa maju yang mampu membuat rakyatnya sejahtera?
Sudah enam presiden secara berkala memimpin bangsa ini. Proses kemajuan bangsa perlahan meningkat namun dekadensi akan kehidupan bernegara juga terjadi di dalamnya bahkan permasalahan klasik bangsa ini belum terpecahkan, KORUPSI. Pemerintahan SBY belum mampu mengatasi hal ini bahkan sampai periode keduanya, padahal di awal masa jabatannya, SBY begitu mengagung-agungkan pemberantasan korupsi. Bagaimana mau diberantas jika memang di dalam pemerintahan itu sendiri sudah terdapat korupsi?
Sistem pemerintahan di Indonesia yang demokrasi (terlebih sejak era reformasi) memang membuka palang pintu sebesar-besarnya bagi para pejabat untuk "memakan" uang rakyat. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sistem demokrasi di Indonesia tidak diciptakan untuk tujuan KORUPSI, namun demi kemajuan bangsa yang lebih baik.
Sistem demokasi diciptakan agar segala ide pikiran masyarakat yang membangun dapat diterima sebagai pertimbangan kebijakan pemerintah, namun mengapa yang terjadi justru ide pikiran itu dimatikan dan sistem demokrasi sungguh menjadi peluang pejabat melakukan korupsi?
Sebagai generasi penentu bangsa, kita jangan mau ikut arus para pejabat kotor itu. Butuh adanya pendidikan karakter sejak awal sehingga prioritas kita tidak semata pada harta duniawi yang tidak mungkin dibawa mati. Rasa keadilan dan semangat patriotisme harus ada dalam diri setiap orang dalam bangsa ini. Jangan mau Indonesia dibawa pada lubang kehancuran karena sikap dan perilaku warga negaranya sendiri.
Butuh pribadi-pribadi yang memegang teguh idealisme moralitas absolut universal semacam Soe Hok Gie dalam memajukan bangsa ini. Jika pemerintah tidak "becus" dalam menangani segalam permasalahan, maka itu dapat dikarenakan berbagai sebab, seperti posisi menteri atau pejabat lainnya yang bukan diisi oleh orang yang ahli di bidangnya, namun karena kepentingan politik semata. Harus ada perombakan jika ingin ada perubahan. Mari menjadi pribadi yang kritis terhadap segala kebijakan pemerintah. Jangan mau dijajah oleh bangsa sendiri karena di sini, di tanah ini kita dilahirkan. Sudah sepatutnya di tanah ini pula kita mengabdi dan menjunjung tinggi rasa solidaritas terhadap segala lapisan masyarakat. Kesejahteraan bangsa ini ditentukan oleh orang-orang di dalamnya. Salamku untuk semua rakyat Indonesia. AMDG

Senin, 28 November 2011

Cinta itu adalah kesatuan dari hati yang terdalam

Manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, namun hal itu tidaklah menutupinya untuk terus berbuat baik dari waktu ke waktu. Kelebihan dan kekurangan setiap orang boleh berbeda namun  manusia memiliki cinta yang sama satu sama lain karena manusia diciptakan untuk mencintai dan untuk menghargai kehidupan.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengolah cinta untuk menjadikannya sebuah harta tak ternilai dalam kehidupan. Banyak orang membentengi dirinya agar cinta itu tidak bertumbuh. Mereka hanya memikirkan bagaimana kebebasan dapat diperoleh tanpa memandang arti cinta yang sejati. Cinta mengalahkan kehendak untuk mementingkan diri. Cinta itu adalah kesatuan dari hati yang terdalam. Kejujuran akan cinta dapat menghadirkan harapan yang murni, yang akan membawa manusia pada sense of belonging terhadap kehidupan. Mari menjadi manusia yang memiliki cinta sebagai akar hidup sehingga menjadi garam dan terang bagi sekeliling kita. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Minggu, 27 November 2011

Masih Perlukah Hati Nurani - mu (?)

Kehidupan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan kehendak. Namun yang harus disadari adalah bagaimana kita bersikap terhadap realita yang terjadi. Hal-hal sederhana dapat kita tangkap maknanya sebagai sebuah pesan akan berharganya sebuah kehidupan. Namun tanpa disadari terkadang manusia justru hidup dalam pergulatan akan konsepsi dasarnya sebagai manusia itu sendiri. Ia sengaja membatasi kehidupan yang sebenarnya tidak perlu  karena kehidupan itu panjang tidak berujung.
Sebagai citra Allah sebenarnya setiap manusia memiliki daya kodrati dan adikodrati. Daya kodrati meliputi akal budi, hati nurani dan kehendak bebas, sedangkan daya adikodrati adalah daya dari luar tubuh manusia yang sering disebut sebagai daya ilahi. Yang sering menjadi keprihatinan adalah bagaimana manusia menyeimbangkan akal budi, hati nurani, kehendak bebas dan daya ilahi tersebut. Realita yang sering terjadi adalah manusia menutup dirinya seakan-akan tidak lagi memiliki hati nurani. Yang ditonjolkan adalah kehendak bebasnya padahal kehendak bebas di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab, "kebebasan untuk" bukan "kebebasan dari".
Sebagai seorang manusia beriman, hati nurani sangat penting untuk menyeimbangkan kondisi dasar kehidupan kita (termasuk akal budi, kehendak bebas dan daya ilahi). Hati nurani adalah bagian integral yang dimiliki setiap orang dan pada dasarnya hati nurani setiap manusia adalah baik adanya (Karena manusia citra Allah maka manusia pun memiliki substansi dasar seperti Allah yaitu baik). Namun yang sering terjadi adalah manusia lebih menentukan arah hidupnya pada hal-hal duniawi dan menutup mata akan semangat humanisme. Peperangan, teror bom, korupsi dan lain sebagainya adalah contoh realita manusia yang menutup hati nuraninya demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Perlu digarisbawahi hati nurani sangat perlu bagi kelangsungan hidup setiap manusia. Tanpa hati nurani manusia hanyalah seonggok daging tak bermakna. Yang membedakan manusia dengan hewan atau tumbuhan adalah hatu nurani itu sendiri (beserta daya kodrati lainnya). Marilah kita menjadi manusia yang memiliki hati nurani yang peka terhadap realita sosial yang terjadi di sekeliling kita. Semoga kita dapat menjadi garam dan terang di masyarakat. Senjata paling sakti adalah hati manusia yang dibakar oleh kekuatan kehendaknya.

Ad Maiorem Dei Gloriam

Kamis, 24 November 2011

Perubahan untuk Indonesia

Perubahan adalah sebuah substansi yang tetap. Segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri. Indonesia saat ini memiliki berbagai permasalah yang kompleks di segala bidang, yakni politik, ekonomi, dan sosial. Sebagai individu yang cinta pada bangsa sudah saatnya kita bergerak untuk mengadakan perubahan. Panji Pragiwaksono telah menggemborkan semangat berani untuk mengubah (#BeraniMengubah).
Perubahan memang sangat dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan di Indonesia yang lebih baik. Sistem pemerintahan yang cenderung korup adalah bagian dari hal yang harus dibenahi. Jika terus menerus keadaan berlangsung seperti saat ini maka tidak lama bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memprihatinkan padahal Indonesia adalah bangsa yang kaya akan segalanya, kecuali satu yaitu kesadaran akan keberadaan orang lain.
Banyak individu yang lupa akan realita kehidupan sosial yang membutuhkan sekali bantuan baik jasmani maupun rohani. Para petinggi negara seakan menutup mata padahal bangsa ini merupakan bangsa dengan kedaulatan rakyat dan NKRI sebagai bentuk negara.
Mari kita melihat lebih dalam situasi dan kondisi bangsa yang semakin lama memprihatinkan. Mulailah dari diri sendiri untuk merubah paradigma akan bangsa ini. Indonesia adalah negara dengan segala kekayaannya dengan potensi yang sangat tinggi. Mari kita berjuang untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Merdeka !!

Merdeka atau Mati

INDONESIA....
Sebuah negeri yang kaya segala-galanya, termasuk dengan sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki integritas kuat di kancah dunia. Pada era Soekarno bangsa Indonesia menjadi macan asia yang ditakuti hingga ke seluruh penjuru mata angin. Namun sekarang kenyataannya? Muncul pertanyaan besar dibalik situasi bangsa yang saat ini cenderung mengalami penurunan drastis dari segala aspek kehidupan di dalamnya, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.
Sebagai generasi penentu bangsa (bukan penerus. Apakah kita mau meneruskan situasi bangsa yang sekarang ini? *lih.konteks), kita dapat melihat bagaimana perjuangan para founding father yang telah berjuang membentuk negara ini berdasarkan ideologi Pancasila yang sangat besar maknanya.
"Merdeka atau Mati" sebuah ungkapan dari seorang Soekarno yang di dalamnya tersirat sebuah pesan akan pentingnya sebuah perjuangan yang total dari dalam diri sendiri. Kecenderungan masyarakat sekarang adalah adanya ketergantungan dari pihak asing untuk masuk ke dalam bangsa ini. Apakah kita mau negeri kita hanya dijadikan sebagai pasar karena kebiasaan kita untuk konsumtif terhadap segala jenis barang?
Sebagai bangsa besar sudah selayaknya kita menjadi bangsa yang mandiri dengan kemajuan yang begitu pesat. Masalahnya adalah sistem pemerintahan yang saat ini dimasuki oleh oknum-oknum tanpa nasionalisme yang sejati di mana para pejabat hanya mementingkan kantongnya sendiri tanpa memerhatikan kondisi rakyatnya.
Semoga ada tindakan konkret yang dilakukan oleh masyarakat secara umum dan pemuda secara khusus untuk memperjuangkan bangsa ini dengan semangat nasionalisme sejati seperti yang dimiliki oleh para pendiri bangsa ini. Salam saya selalu untuk setiap warga negara Indonesia. Mari kita pekikan bersama.. Merdeka atau Mati !!!!

API SENJA


Berteriak..
Meminta sebuah tanda bias tanpa kata
Kutanya mengapa
Jawabnya pedas menusuk dahaga
Membuang segala peluh hujan siang hari
Diam..
Melikuk di antara kabut rasa
Kucoba menatap dirinya penuh luka
Angin biru tak kuasa menahan belai dirinya
Sudah cukup
Aku terbuai dalam dinginnya api senja

Rabu, 02 November 2011

RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Pada dasarnya setiap manusia selalu ingin mencari asal usulnya. Menurut pandangan agama-agama di dunia, manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Sang Transensen. Kodrat substansial manusia adalah laki-laki dan perempuan. Banyak orang di dunia menghabiskan waktu hidupnya untuk menelusuri lebih jauh hakikat laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan akan laki-laki dan perempuan memiliki komparasi dengan salah satu kebijaksanaan kuno untuk menjawabnya. Kebijaksaan tersebut mengatakan, “Ada dua hal yang bisa dilakukan terhadap sebuah pertanyaan. Yang pertama adalah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Yang kedua adalah memberikan kemungkinan rumusan pertanyaan yang lebih baik.
Menurut Yohanes Paulus II, usaha untuk memahami kembali arti dasar manusia kita dapat melihatnya dalam pengalaman asali manusia pada titik awal penciptaan. Ada tiga pengalaman asli manusia: kesendirian asali (original solitude), kebersatuan asali (original unity), dan ketelanjangan asali (original nakedness).[1]
Banyak pakar mencoba merumuskan jawaban  hakikat awal laki-laki dan perempuan. Kitab suci mengatakan bahwa laki-laki pertama adalah Adam dan perempuan pertama adalah Hawa. Hal ini belum pasti karena Kitab Suci merupakan refleksi teologis yang menghubungkan relasi antara manusia dengan yang Transenden. Ada pakar lain seperti Darwin yang mengatakan bahwa manusia adalah hasi evolusi kera.
Pengertian akan awal keberadaan manusia adalah sebuah relativitas yang tidak tentu menemukan jawaban yang tepat. Akan lebih tepat bila sebagai manusia kita memaknai hal tersebut sebagai sebuah proses yang terus berjalan serta mempercayai refleksi-refleksi teologis mengingat kita adalah manusia yang memiliki kepercayaan pada yang Transenden.
Tidak akan ada habisnya bila kita mencari jawaban akan pertanyaan substansial awal keberadaan manusia karena teori-teori yang muncul hanya menimbulkan kebingungan di antara kita. Namun, kita bisa memunculkan pertanyaan lain yang lebih memiliki korelasi yang esensial dengan keseharian kita sebagai sebuah insan. Pertanyaan lain yang muncul setelahnya adalah hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Hal ini bisa ditinjau dari segi perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah relasi interpersonal. Menurut McGraw-Hill dalam bukunya Communication works, relasi interpersonal adalah sebuah hubungan diadik (pasangan) antar personal atau individu. Ketika kita membagikan relasi interpersonal dengan orang lain, kita menjadi memiliki rasa saling ketergantungan satu sama lain. Di lain waktu kita menjalin hubungan secara alami, seperti pertemanan selama kita berinteraksi dengan orang lain dengan membagikan pengalaman yang kita miliki dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya.[2]
Fungsi akan adanya relasi adalah adanya tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yakni inclusion, control, dan affection. Inclusion adalah segala sesuatu yang kita butuhkan untuk berkomunikasi secara sosial. Inclusion menggambarkan adalah cara kita untuk membangun relasi supaya orang lain memahami keberadaan kita tetapi dengan tetap menjaga jarak.[3]
Control adalah sebuah kebutuhan yang bertujuan agar kita mampu,peka dan terampil dalam mengeluarkan kekuatan kita untuk mempengaruhi relasi atau hubungan kita. Affection sendiri memiliki arti sebuah kebutuhan untuk member dan menerima aspek-aspek emosi secara lebih dekat.[4]
Dengan adanya teori di atas kita dapat memaparkan hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan. Relasi tersebut memiliki sikap saling ketergantungan satu sama lain sehingga kita dapat memiliki paradigma bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan untuk saling melengkapi. Hal ini dapat kita tinjau dengan logika bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Budaya patriarkal yang memang sudah mendarah daging di beberapa bagian dunia bahkan hampir meliputi seluruh dunia membawa kita pada sebuah pandangan bahwa laki-laki itu berkuasa, termasuk terhadap perempuan. Namun patut disayangkan bahwa pemahaman akan budaya tersebut hanya dibatasi pada hal-hal yang cenderung negatif. Padalah budaya patriarkal hanyalah buatan manusia itu sendiri, bukan sebuah kodrat yang menegaskan bahwa memang laki-laki berkuasa terhadap perempuan.
Refleksi akan peran laki-laki dan perempuan dalam hubungan relasinya adalah pada hakikat psiko-somatik yang berarti kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan. Hakikat psiko-somatik penting ditegaskan karena bertujuan untuk menghindar dari paham dualisme.[5] Laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah satu kesatuan sekaligus pemisahan. Jiwa dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan namun manusia itu sendiri “dipisahkan” antara laki-laki dan perempuan yang memiliki jiwa dan tubuh berbeda.
Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan relasi antara laki-laki dan manusia menuju pada persamaan gender. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peran perempuan yang mulai mengambil alih peran laki-laki, misalnya dengan adanya polisi perempuan, sopir busway perempuan, dan presiden perempuan.
Relasi antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi inclusion, control, dan affection. Meskipun memiliki kebutuhan untuk saling melengkapi, laki-laki dan perempuan tetap menjaga jarak satu sama lain dan memiliki kontrol akan hubungan itu sendiri. Relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah sarana untuk memenuhi kebutuhan afeksi masing-masing.
Komunikasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan jelas memiliki perbedaan dengan komunikasi laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Hal yang mendasarinya adalah kebutuhan psikologis yang cenderung membawa manusia pada sisi afeksi. Manusia akan terpenuhi kebutuhan emosi afeksinya ketika menjalin hubungan dengan beda jenis kecuali individu tersebut memiliki sebuah pandangan yang berbeda, dengan kata lain memiliki kelainan.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Relasi ini bersifat dinamis mengingat proses yang berlangsung di dalamnya terbentur dengan relasi yang lainnya pula, seperti relasi manusia dengan alam, relasi manusia dengan yang Transenden dan relasi lainnya. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan memiliki daya pikat yang membuat sisi psikologis manusia terpenuhi kebutuhannya. Kembali pada awalnya bahwa laki-laki dan perempuan adalah kodrat manusia. Budaya, keyakinan, adat, dan lain-lain adalah buatan manusia sendiri untuk membangun nilai dan norma yang terjalin di antara mereka.



[1] Ramadhani,SJ, Deshi. 2010.Adam Harus Bicara.Yogyakarta:Kanisius, hal 50
[2] Gamble, Michael. 2005.Communication works.New York:Mc-Graw-Hill, hal 233
[3] Ibid, hal 234
[4] Ibid, hal 235
[5] Ramadhani,SJ, Deshi. 2009.Lihatlah Tubuhku.Yogyakarta:Kanisius, hal 116

Selasa, 01 November 2011

PEMUDA : SATU UNTUK INDONESIA

Sebagai seorang pemuda tentunya kita tidak bisa diam melihat situasi pemerintahan saat ini yang cenderung lambat dalam mengatasi permasalahan negara yang ada. Butuh sebuah perubahan yang mendasar. Memang sulit ketika sebuah sistem telah rusak oleh berbagai masalah, dalam hal ini adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sedang dilanda berbagai macam krisis antara lain kasus-kasus korupsi yang berdampak pada krisis kepercayaan.
Dibutuhkan pemuda-pemuda Indonesia yang mau bergerak ke arah yang lebih maju untuk memberikan sebuah agere contra dengan apa yang sekarang dilakukan oleh pemerintah. Apakah kejadian tahun 1998 akan terulang kembali? Hanya masalah waktu yang akan menjawabnya.
Melihat realita "kebobrokan" pemerintahan saat ini, sudah saatnya slogan generasi penerus bangsa kita ubah menjadi GENERASI PENENTU BANGSA. Hal ini dimaksudkan agar sebagai pemuda kita tidak ingin menjadi penerus sistem yang sudah terlampau hancur oleh kepentingan-kepentingan sekelompok orang saja. Partai sebagai kendaraan demokrasi sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem harus segera dibenahi jika tidak ingin NKRI terpecah belah. Sudah banyak gerakan untuk keluar dari NKRI dan hal ini sangat memprihatinkan. Mari kita bersatu untuk INDONESIA tercinta. Jangan sampai negara yang sudah susah payah dibangun oleh para founding father musnah begitu saja.
satu untuk INDONESIA.

Antara Jubah dan Cinta


Antara Jubah dan Cinta
Ketika sang surya mengintip dalam peraduannya dan embun pagi masih terasa segar, di tepi pantai pasir putih, seorang lelaki paruh baya sedang asik menghisap rokoknya. Lamunannya melayang hingga melewati ruang dan waktu. Desiran ombak semakin membuatnya terbang tinggi menembus angannya yang tak kunjung tiba.
Bratasena duduk terdiam. Matanya menatap lurus ke arah matahari yang sebentar lagi meninggalkan pantai. Hidup memang tidak bisa diduga, segala yang terjadi tidak bisa diprediksi sebelumnya. Seperti pasir yang terdampar di tepi pantai, kehidupan juga memiliki makna yang tak dapat dihitung dengan tepat. Hukum relativisme ternyata memang mewarnai setiap lekuk kehidupan. Brata, seorang anak preman tak kuasa menahan tangis dalam sepinya. Semua yang terjadi dalam hidup ini bukan kebetulan, pikirnya.
“Brata, sedang apa kamu di sini?” tanya Pandu tiba-tiba. Brata segera menghapus air mata yang sempat terjatuh membasahi lekuk pipinya.
“Nggak, gak ada apa-apa kok,” jawab Brata berusaha menutupi apa yang sesungguhnya terjadi.
“Sudahlah, coba kamu ceritakan apa masalahmu. Tadi aku lihat kok kamu menangis,” kata Pandu kepada Brata melihat temannya seperti sedang berada dalam kesulitan.
“Begini Du, aku bingung mengapa orang seperti aku bisa-bisanya tertarik untuk menjadi seorang pastur. Padahal latar belakan kehidupanku seperti ini, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak baik. Kerjaku hanya mabuk-mabukan dan melakukan hal-hal lain yang hanya memuaskan nafsuku saja,” Brata mencoba menguraikan permasalahnya perlahan.
Menjadi seorang pastur memang bukan perkara biasa. Tradisi Katolik yang begitu baku mengharuskan seorang Pastur memiliki tiga kaul yakni kaul ketaatan, kemiskinan dan keperawanan. Jadi memang tidak masuk akal bila seorang Brata yang memiliki latar belakang yang buruk bisa memiliki rasa untuk menjadi seorang pastur.
Matahari sudah tidak lagi menampakkan sinarnya, namun Brata dan Pandu masih duduk di tepi pantai. Mereka bercakap-cakap satu sama lain.
“Pandu, bagaimana kalo aku masuk biara?” tanya Brata kepada Pandu yang sudah menjadi temannya dari kecil hingga saat ini.
“Kamu yakin Brat?”
“Sesuatu jika tidak dicoba sama saja sia-sia, Du.”
“Bukan begitu juga, keyakinan itu modal penting untuk melangkah lebih jauh ke depan.”
“Ya benar sih, tapi hati gak pernah salah Du. Aku ingin masuk biara untuk setidaknya mendengar suara hati niraniku sendiri.”
“Baiklah, coba kamu tanya dulu pada orangtuamu,” nasihat Pandu yang ternyata menjadi awal bagi Brata untuk melihat ke dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Brata.
Keheningan adalah keramaian abadi yang pernah ada. Ketika seorang hening, maka dengan itu ia akan berada dalam keramaian yang tak ada batasnya. Di sanalah kekayaan abadi berada, dalam keheningan. Brata pun perlahan menyadarinya. Ia sering berada dalam keheningan di tepi pantai. Rumahnya yang tidak jauh dari pantai itulah yang membuatnya memilih pantai menjadi tempat yang paling nyaman untuk berefleksi.
Kehidupan ini begitu kompleks. Dosa adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh tiap manusia. Brata sadar bahwa dirinya adalah manusia yang buruk. Masa lalu yang suram sangat berpengaruh terhadap dirinya saat ini. Brata dibesarkan dalam keluarga yang tidak jelas. Sampai saat  ini ia pun tidak tahu siapa ibu kandungnya. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang dikenal sebagai seorang preman.
Waktu berlalu begitu cepat dan di suatu senja di mana Brata selalu duduk termenung menatap matahari yang hendak dalam peraduannya, datanglah seroang gadis menhampiri Brata.
“Hai, masih kenal aku gak?” tanya gadis itu kepada Brata.
“Dewi?”
“Iya, masa kamu lupa?”
“Bener ini Dewi?”
“Iya, ini aku Dewi yang dulu kamu tolong saat aku tenggelam. Masa kamu lupa.”
“Aku ingat kok Wi. Bagaimana sekarang kabarnya?” tanya  Brata kepada Dewi.
“Aku baik-baik saja kok. Sebenarnya aku mau ke sini ingin berbicara kepadamu Brata,” jawab Dewi yang membuat Brata bingung. Tidak biasanya ada perempuan yang kenal padanya namun sekarang ada seorang gadis yang berada sangat dekat dengannya.
“Ada apa Wi?” tanya Brata dengan hati yang bertanya-tanya. Bersamaan dengan matahari yang tinggal sepucuk saja menyembul mungil di garis horizon, Dewi mencium pipi Brata. Tidak ada suara. Semua terbawa pada emosi masing masing. Saat itu adaah saat yang paling dikenang oleh Dewi sebelum semuanya tak menjadi miliknya lagi.
Cinta adalah suatu misteri. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak luput dari yang namanya cinta karena manusia memang diciptakan secara eksistensial bersamaan dengan lahirnya cinta itu sendiri. Senja itu menjadi abu-abu bagi Dewi karena sejak saat itu Brata, seorang yang liar namun memiliki hati bagai samudera memberikan sedikit harapan padanya namun ada sesuatu yang menutupi perasaannya kepada Dewi, yakni impiannya, cita-citanya, keinginannya, sebuah rasa untuk menjadi alat bagi Tuhan di dunia ini.
“Mengapa kamu menciumku?” tanya Brata kepada Dewi sesaat setelah semuanya kembali kea lam sadar mereka. Desiran angin senja membawa segala perasaan Dewi kepada langit, ingin rasanya memuntahkan rasa yang memang mengalir di hatinya untuk Brata setelah setengah tahun yang lalu Brata menolong Dewi yang tenggelam terseret ombak yang begitu besar. Sejak saat itu, Dewi memiliki cinta yang sulit untuk diungkapkannya. Hari-harinya dihabiskan di tepi pantai untuk sekedar memandang Brata dari kejauhan.
“Brata, Aku mencintaimu,” jawab Dewi dengan hati yang berdebar. Setelah setengah tahun lamanya ia ingin sekali mengungkapkan kalimat itu kepada Brata, akhirnya hari ini hal itu terjadi. Sesuatu yang menjadi impian Dewi, bersama Brata menjalani kehidupan yang memang sarat dengan tanda tanya.
“Mengapa baru sekarang kamu berkata padaku, Wi?”
“Memang kenapa? Terlalu lama yah?”
“Untuk saat ini ada sebuah rasa yang bergejolak dalam hatiku. Mungkin kamu pun tidak menduga perasaan yang ada padaku. Dahulu, setengah tahun yang lalu aku memang menyadari sebuah rasa yang tak bisa kudefinisikan padamu. Ada sebuah rasa bagiku untuk memilikimu, namun aku sadar bahwa aku manusia yang penuh dengan kekuarangan. Aku tak pantas untukmu, Wi,” ungkap Brata menjelaskan perasaannya dahulu kala.
“Maaf untuk itu Brat, aku tak kuasa mengungkapkan rasaku padamu. Aku begitu naïf sehingga aku hanya bisa berada jauh, mengambil jarak denganmu. Sebenarnya hari-hariku pun kuhabiskan di tempat ini. Memandangmu dari kejauhan. Aku tak punya nyali yang besar untuk berada di dekatmu,” kata Dewi dengan nada terbata-bata. Ia merasa terharu ketika mengetahui bahwa setengah tahun yang lalu Brata punya rasa yang sama dengannya, namun itu setengah tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang? Apakah Brata tetap mencitaiku? Apakah Brata memiliki rasa cinta yang sama kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Dewi, sulit rasanya untuk tidak menahan butiran-butiran air mata yang mulai menetes menuruni setiap lekuk pipinya.
“Maafkan aku Wi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Seiring berjalannya waktu perasaanku padamu tenggelam bersamaan dengan derai air di pantai ini menuju samudera luas. Aku tak lagi seperti dulu yang mempunyai perasaan itu. Terima kasih bila kamu mau jujur padaku pada hari ini. Namun sekali lagi maaf karena aku mempunyai cinta lain yang begitu kuat menarikku hingga tak kuasa bagiku untuk menolaknya,” jelas Brata kepada Dewi yang perlahan mengambil jarak dengan Brata.
“Iya aku tahu, Brat. Ini memang salahku. Aku harus menunggu begitu lama untuk memiliki keberanian mengatakan hal ini padamu. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan sekaligus harus dipaksakan. Lebih baik aku mengatakan hal ini padamu daripada aku menahannya lebih lama lagi. Aku mengerti kok Brat bahwa memang sulit mengharapkan cinta yang tak kunjung datang.  Terima kasih karena pernah mencintaiku,” kata Dewi dengan penuh gejolak jiwa.
“Terima kasih juga karena boleh mencintaimu. Perasaan hanyalah sebuah bias yang tidak bisa untuk dipungkiri. Aku tahu bahwa rasa itu tidak pernah berbohong. Maafkan aku Wi, hal ini terlalu sulit bagiku karena ada kekuatan lain yang lebih besar dari rasa cinta itu sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi seorang Pastur meskipun aku juga memiliki rasa itu padamu,” jelas Brata. Mendengar perkataan itu, Dewi pun kaget karena tidak mengira alasan Brata menolak cintanya. Dia tahu bahwa menjadi seorang Pastur adalah sebuah hal yang sangat jarang terjadi.
Hari telah menjadi gelap dan dua insan tetap duduk berdampingan memandang ombak yang perlahan semakin pasang. Bulan purnama telah menggantikan sang surya yang sedang tertidur pulas di belahan bumi yang lain. Malam itu adalah malam yang penuh dengan kasih mesra seorang calon Pastur kepada seorang wanita yang duduk di sampingnya. Mungkin ini adalah malam terakhir baginya untuk berada di dekat seorang wanita dengan perasaan cinta yang tak terselami. Memang cinta begitu rumit  untuk dirumuskan karena memang tak ada ilmu pasti yang dapat menjangkaunya. Cinta seperti samudera yang tak mungkin dapat ditampung oleh pikiran yang hanya sebesar botol. Cinta begitu luas dan tak terbendung maknanya. Biarah sang Pencipta cinta yang tahu dengan jelas siapa cinta itu sendiri.
“Maafkan aku ya Wi, keputusanku sudah bulat. Aku merasa terpanggil untuk menjadi seorang Pastur. Perasaan itu tak bisa lagi kututup-tutupi. Ada hal tak terlihat yang selalu memanggilku untuk meninggalkan segala yang kupunya demi segala yang akan kuperoleh dalam kebahagiaanku menjadi seorang Pastur. Maafkan aku sekali lagi,Wi,” begitulah Brata mencoba menguraikan segala perasaannya untuk menjadi seorang Pastur.
Dewi tak kuasa menahan tangis yang semakin lama semakin menjadi. Namun ia sadar bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Cintanya tak lagi disambut oleh cinta seorang Brata tetapi ia sekarang mengerti bahwa cinta itu seperti anak panah yang dilepas. Jika anak panah itu selalu berada dalam busurnya ia tidak akan pernah tahu kemana arah tujuan hidupnya sekaligus menyesengsarakan busurnya itu karena harus menahannya, namun ketika anak panah itu dilepas ia akan mencari sendiri jalan hidupnya dan itu membuat busur lega meskipun arah anak panah itu tidak sesuai dengan kehendaknya.
“Brata, aku mengerti kok dengan ini semua. Tidak ada yang bisa menghalangimu untuk sebuah cita-cita itu. Aku tidak mungkin bersaing dengan Tuhan yang telah mencintaimu lebih dahulu dari pada aku. Terima kasih ya Brat karena kamu boleh menjadi bagian dalam hari-hariku. Mungkin ini malam terakhir bagi kita untuk berdua bersama menikmati pantai yang indah dan penuh kenangan ini. Terima kasih, Brat,” ungkap Dewi yang memang mengerti akan perasaan Brata yang begitu luhur.
Keras, total dan merdeka adalah sifat yang selalu dimiliki dalam cinta. Ia begitu keras melebihi batu apapun, total dalam berprinsip dan merdeka dalam bertindak. Sejak saat itu Brata pun semakin yakin dengan pilihannya untuk menjadi seorang Pastur. Dengan kemerdekaannya ia telah memutuskan suatu yang berbeda dengan kebanyakan orang. Ia ingin mengabdi seutuhnya kepada Tuhan yang telah mencintainya jauh sebelum dunia dijadikan.
Delapan tahun kemudian Dewi kembali berjumpa dengan Brata. Saat ini situasinya telah berbeda. Di hadapan Brata, terlihat seorang lelaki yang ingin menerima berkatnya untuk kelasngsungan hubungan yang lebih jauh, Brata memberikan sakramen perkawinan kepada Dewi dan calon suaminya. Dengan kebesaran hati Brata menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan dengan amat baik. Ia tak lagi terbuai dengan masa lalunya dengan Dewi.
“Terima kasih ya Romo Brata. Aku sungguh bahagia hari ini karena telah menerima sakramen yang selamanya akan aku pegang teguh,” ungkap Dewi kepada Brata seusai misa perkawinan itu.
“Tetaplah berada di jalan Tuhan. Cintailah suamimu seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Selamat menempuh hari yang baru semoga kamu selalu mengalami kebahagiaan yang selama ini kamu cari.”
“Terima kasih Romo Brata, aku akan selalu pegang janjiku.”
“Amin.”

ketika hati sedang bergeming

Selasa, 20 September 2011

Iman dan Teknologi


Pax Christie !
Sebagai manusia yang hidup pada zaman sekarang, kita tidak bisa lepas dari teknologi. Teknologi membantu kita untuk meringankan pekerjaan. Segalanya bisa menjadi mudah ketika kita dihadapkan pada teknologi. Namun apakah dengan itu kita melupakan begitu saja iman kita yang didasarkan pada sebuah proses yang begitu lama? Apakah iman kita tergerus dengan teknologi yang membawa kita pada budaya instan?
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak umat untuk berefleksi sejenak berkaitan dengan kehidupan nyata disandingkan dengan tradisi iman kita. Saya mengambil kisah Santo Agustinus sebagai referensi sehingga membantu kita dalam berefleksi.
Agustinus lahir di Tagaste (sekarang: Soukh-Ahras), Afrika Utara pada tanggal 13 November 354. Ibunya, Monika, seorang yang beriman Kristen dari sebuah keluarga yang taat agama; sedangkan ayahnya Patrisius, seorang tuan tanah dan sesepuh kota yang masih kafir. Agustinus belum juga dipermandikan menjadi Kristen meskipun ia sudah besar karena kekafiran Patrisius yang sungguh berpengaruh besar pada diri Agustinus.
Semenjak kecil Agustinus sudah menampilkan kecerdasan yang tinggi. Namun hidupnya tidak lagi tertib oleh aturan moral. Ia menganut aliran Manikeisme, suatu sekte keagamaan dari Persia yang mengajarkan bahwa semua barang material adalah buruk. Selanjutnya selama beberapa tahun, ia meragukan semua kebenaran agama – agama.
Pada tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano. Di sana ia berkenalan dengan Uskup Ambrosius, seorang mantan gubernur yang saleh. Ia menyaksikan dari dekat cara hidup para biarawan yang bijaksana, ramah dan saling mengasihi. Hatinya tersentuh dan mulailah ia berpikir: “Apa yang mendasari hidup mereka? Injilkah yang mewarnai hidup mereka itu?” Semuanya itu kembali menyadarkan dia akan nasehat – nasehat ibunya tatkala ia masih di Tagaste. Suatu hari, ia mendengar suara ajaib seorang anak: “Ambil dan bacalah!” Tanpa banyak berpikir, ia segera menjamah kitab Injil itu, membukanya dan membaca: “Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Rom 13:13-14).
Agustinus yang telah banyak mendalami filsafat itu akhirnya terbuka pikirannya dan melihat kebenaran sejati, yakni wahyu ilahi yang dibawakan Yesus Kristus. Ia kemudian bertobat dan bersama dengan sahabatnya Alipius.  Agustinus dipermandikan pada tahun 387. Dalam bukunya ‘Confession’, ia menulis riwayat hidup dan pertobatannya dan dengan terus terang mengakui betapa ia sangat terbelenggu oleh kejahatan dosa dan ajaran Manikeisme.
Pada tahun 388, ia kembali ke Afrika bersama ibunya Monika. Di kota pelabuhan Ostia, ibunya meninggal dunia. Tahun – tahun pertama hidupnya di Afrika, ia bertapa dan banyak berdoa. Kemudian ia ditabhiskan menjadi imam pada tahun 391 dan bertugas di Hippo sebagai pembantu uskup di kota itu. Sepeninggal uskup itu pada tahun 395, ia dipilih menjadi Uskup Hippo. Rahmat Tuhan yang besar atas dirinya dimuliakannya di dalam berbagai bentuk kidung dan tulisan. Tulisan – tulisannya meliputi 113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah. Tak terbilang banyaknya orang berdosa yang bertobat karena membaca tulisan – tulisannya. Tulisan – tulisannya itu hingga kini dianggap oleh para ahli filsafat dan teologi sebagai sumber penting dari pengetahuan rohani. Semua kebenaran iman Kristiani diuraikan secara tepat dan mendalam sehingga mampu menggerakkan hati orang.
Agustinus meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430 tatkala bangsa Vandal mengepung Hippo. Jenazah Agustinus berhasil diamankan oleh umatnya dan kini dimakamkan di basilik Santo Petrus.
Sebagai seorang Katolik kita seharusnya mendalami betul kisah di atas. Santo Agustinus pada awalnya sama seperti kita yang tidak luput dari dosa, namun perbedaannya adalah apakah kita mau untuk bergerak ke arah yang lebih baik yakni bertobat? Santo Agustinus telah melakukannya. Dari pengalaman sederhana sebenarnya kita mampu untuk bertobat.
Pada kesempatan kali ini saya mau mengajak umat untuk membaca Kitab Suci, apalagi bulan ini adalah bulan Kitab Suci Nasional. Santo Agustinus mengalami pertobatan ketika ia membaca sebuah perikop dalam Kitab Suci. Memang sulit untuk memahami setiap ayat yang terdapat di dalamnya, tetapi saya mau mengajak umat untuk tidak membacanya dengan logika tetapi dengan hati yang terbuka kepada wahyu Tuhan.
Bila dihadapkan pada budaya instan, kisah perjalanan hidup Santo Agustinus sangat cocok untuk kita teladani. Janganlah kita tergerus oleh keinginan-keinginan duniawi yang seringkali memangkas iman kita kepada Tuhan. Kecanggihan teknologi semakin “meminggirkan” Tuhan sebagai yang Esa. Padahal seharusnya kita sadar bahwa segalanya berasal dari Dia, Sang Seniman Agung.
Sebagai ciptaan kita hanya mampu untuk menyandarkan diri kepada kuasa Tuhan dan dengan besar hati mau menjadi alat-Nya di dunia ini. Akhir kata saya mengajak umat untuk melihat diri lebih jauh dengan sebuah cermin kehidupan bahwa segalanya berasal dari Tuhan. Budaya instan jangan sampai menggerus iman kita sebagai seorang Katolik. Dimuliakanlah Tuhan kita Yesus Kristus untuk selama-lamanya.
Deo Gratias !


HAM, Masih Adakah (?)



Judul buku       : Gereja dan Penegakan HAM
Penyunting       : Ruddy Tindage dan Rainy MP Hutabarat
Tebal Buku      : 251 Halaman
Penerbit           : ©2008 Kanisius

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah milik manusia sejak ia tampil sebagai manusia, sejak dalam rahim ibunya, terlebih sejak saat kelahirannya. HAM adalah sebagian dari hakikat manusia, jadi merupakan hak-hak alami, tidak bisa tidak dimiliki oleh manusia. Karena tidak ada yang memberikannya, maka juga tidak ada yang berhak mencabutnya. Itulah point yang selalu ditekankan dalam buku ini, di mana HAM diletakkan kedudukannya sebagai yang utama, sebagai dasar dari segala hak, sebagai anugerah yang pasti diterima oleh setiap manusia.
Yang menjadi keprihatinan adalah realita atau kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat di mana HAM tidak mendapat perhatian untuk diperjuangkan. Banyak sekali terjadi tidakan penganiayaan atau semacamnya yang terjadi di berbagai belahan dunia, padahal selaku badan Internasional, PBB telah mengaklamasikan Deklarasi Universal tentang HAM pada tanggal 10 Desember 1948 pasca Perang Dunia II. Sebagai bagian dari PBB, sudah sepatutnya bangsa Indonesia turut memperjuangkan HAM dalam kegiatan apapun, termasuk dalam membuat kebijakan yang menyangkut masyarakat secara luas. Pada tanggal 10 Mei 2006, Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Namun, apakah bangsa Indonesia yang memang pantas mendapat gelar itu? Rasa-rasanya belum. Masih banyak kasus yang terjadi di bangsa ini dan semuanya menyangkut dengan ketidakadilan terhadap kaum kecil, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang sampai detik ini pun masih terjadi. Di negeri yang tengah carut-marut ini masih banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang bukan saja belum terungkap dan ditangani secara hukum dan adil, tetapi juga belum ditulis dan dipublikasikan. Tulisan-tulisan mengenai HAM dalam buku ini mau mengajak masyarakat agar dapat mengetahui dan belajar dari kasus-kasus tersebut dan menjadi penghormatan atas HAM sebagai praksis hidup.
        Indonesia, khususnya di era Orde Baru merupakan salah satu Negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM berperingkat tinggi. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya proses pelanggaran HAM di Indonesia, antara lain adanya defisit demokrasi dan perwakilan yang semu. Artinya kebebasan tidak hanya diukur melalui kebebasan sipil yang sudah diperjuangkan di negeri ini, namun juga diukur dari bagaimana supremasi hukum dapat dirasakan masyarakat. Keadilan seakan bisa “dibeli” oleh kekuasaan. Para pejabat terpilih pun ternyata tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan mayoritas masyarakat yang miskin dan berkekurangan.
         Dari keprihatinan tersebut, terdapat kelompok-kelompok yang memperjuangkan adanya keadilan di bangsa ini. Mereka tak henti-hentinya menyerukan penegakan HAM. Pada dasarnya indikator utama Hak Asasi Manusia adalah diputuskannya lingkaran Impunitas, yakni warisan dari periode rezim otoritarian, di mana pelanggar hak asasi manusia tidak dapat dibawa ke pengadilan, karena kekuasaan mereka yang menghalangi hukum ditegakkan. Dengan diputuskannya lingkaran impunitas tersebut diharapkan keadilan di Indonesia tidak sebatas pada teori, namun lebih kepada praktek di lapangan.
Sejauh mana Gereja Indonesia menyikapi masalah ini?
       Pada awalnya Gereja memang antipati dalam urusan HAM karena memang HAM identik dengan urusan politik. Namun itu terjadi pada ratusan tahun silam di mana Gereja masih menjadi sebuah “panggung kekuasaan” yang sulit ditembus karena memang pada masa lalu Gereja sangat dekat dengan para penguasa yang notabene adalah para pelaku tindak kekerasan HAM. Gereja tidak ingin ikut campur dengan masalah HAM. Baru sesudah konsili vatikan II, Gereja bukan lagi menjadi “penguasa” tapi lebih sebagai sebuah “paguyuban” yang sangat terbuka dengan adanya kasus pelanggaran HAM.
    Sehubungan dengan wawasan HAM, panggilan gereja bukanlah semata-mata agar menjadi ecclesia docens (gereja yang mengajar), tetapi juga sebagai ecclesia discerns (gereja yang belajar). Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, Yesus menerobos keluar (out of the box) dari ketegangan di antara partikularisme dan universalisme di dalam yang terdapat dalam agama-agama dan menekankan pada universalitas berupa kesetaraan manusia. Dalam perumpamaan itu digambarkan HAM tidak hanya diperjuangkan dari bangsa, ras, dan suku yang sama. Seorang Samaria yang dikatakan sebagai musuh orang Yahudi pun mau untuk mengulurkan tangannya demi orang Yahudi yang menderita. Tindakan orang Samaria ini menggerakkan kita untuk memandang HAM sebagai sesuatu yang universal, yang mengatakan bahwa HAM tidak hanya milik golongan tertentu.
      Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, adalah panggilan untuk menghargai martabat sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Yesus, yang sering disebut sebagai Golden rule, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat padamu, perbuatlah demikian kepada mereka,” (Luk 6:31). Ajakan Yesus ini adalah ajakan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Alkitab melihat fungsi hukum itu, bukan sebagai pembatas, tetapi yang member kebebasan kepada manusia untuk menegakkan hak asasinya. Tidak ada penghargaan yang lebih besar untuk sesama, selain daripada kasih.
     Melihat kenyataan yang seperti ini, memang tak dapat dipungkiri bahwa Gereja harus berbuat sesuatu. Penegakan HAM adalah sesuatu yang penting. Tugas memperjuangkan hak-hak tersebut merupakan sebuah panggilan. Janganlah kita menutup mata akan kasus-kasus penyelewengan HAM dalam negeri ini. Kasus-kasus tersebut tidak boleh didiamkan karena negara kita maunya menjadi negara beradab dan negara beradab tidak melakukan yang dilakukan negara kita kepada korban-korban ketidakadilan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penegakan HAM adalah sesuatu yang baik. Dengan adanya proses itu, kita ingin menghadirkan Kristus yang hadir menyertai umat-Nya. Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana aku menjadi Alter Christus yang hadir untuk memperjuangkan keadilan, menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan untuk mewartakan kasih kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir itu?
We hold that these truths be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights
(John Locke)

Merapi Tak Pernah Ingkar Janji



Pada tanggal 27 Oktober 2010 sebuah peristiwa yang mengawali sejarah terjadi. Gunung Merapi meletus dengan tiada henti-hentinya. Peristiwa ini membuat tidak hanya masyarakat lokal panik, namun dampaknya sampai ke tingkat nasional.  Seminggu berlalu namun kondisi tak kunjung membaik, justru semakin parah dengan adanya wedhus gembel yang mencapai radius 15 km dari puncak Merapi.
Pada tanggal 3 November 2010, akhirnya Bumi Merto merasakan hujan abu vulkanik. Peristiwa itu membuka hatiku untuk peduli kepada mereka yang menjadi korban. Jika Seminari yang berjarak 25 km saja merasakan hujan abu, bagaimana dengan warga yang berada dalam radius 0-15 km? Lalu, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?
Tidak lama setelah itu Seminari Mertoyudan akhirnya membuka posko Peduli Merapi. Dalam waktu sebentar saja, sudah banyak bantuan logistik yang masuk ke gudang posko, bahkan bantuan dari Jakarta dan sekitarnya. Aku bersyukur bisa terlibat dalam kegiatan sosial ini. Memang apa yang kulakukan tidaklah sebesar apa yang telah dilakukan oleh tim SAR maupun para relawan yang terjun langsung di lokasi, namun aku senang bisa membantu mereka yang kesulitan dengan segala yang aku punya.
Situasi saat itu memang mencekam. Gempa vulkanik dapat dirasakan sampai radius 25-30 km dan membuat kaca-kaca bergetar. Hujan abu tiada henti-hentinya dan matahari pun sulit menampakkan sinarnya. Ada apa dengan ini semua? Mengapa kejadian ini terjadi di Indonesia yang terkenal dengan ketaatan beragamanya?
Bencana adalah bagian dari siklus peradaban manusia, termasuk pergeseran lempeng-lempeng bumi. Adanya bentuk bumi seperti sekarang bila kita telusuri lebih lanjut juga disebabkan karena adanya pergeseran lempeng-lempeng bumi. Namun, mengapa Indonesia menjadi bangsa yang paling sering terkena bencana dan dampaknya sampai pada level yang buruk seperti ini?
Sebagai umat beriman, kita perlu melihatnya dalam kacamata refleksi, tidak hanya di permukaan saja. Mengapa Tuhan “menganugerahkan” kita bencana-bencana? Mengapa Tuhan membiarkan Merapi meletus begitu dashyat? Itu karena Dia mencintai umat-Nya tanpa batas. Bila kita mau melihat apa yang terjadi saat Merapi meletus, kita akan melihat sebuah keajaiban dunia. Seluruh masyarakat Indonesia saling bahu-membahu memberikan bantuan kepada siapapun yang menjadi korban, tidak lagi mementingkan agama, suku, ras, atau apapun. Inilah poin refleksi yang ingin disampaikan, bahwa bencana menyatukan dunia.
Sudah sepantasnya kita pun bersyukur atas kejadian yang bencana yang telah terjadi. Kita bisa melihat wajah Tuhan yang tercermin dari setiap peluh yang keluar dari kening para korban maupun para relawan. Letusan-letusan magma menjadi letusan-letusan kasih yang membangkitkan kesadaran manusia yang semakin lama tergerus dengan budaya modern.
Bila kita mengimani Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, biarlah Dia berbuat apapun yang dikehendaki-Nya. Dia tidak akan memberikan keburukan pada umat ciptaan-Nya karena Dia adalah sumber kasih sejati. Sebagai manusia biasa kita hanya bisa berdoa, bersyukur, dan berusaha. Dia telah melengkapi janji-Nya untuk selalu setia pada manusia, entah lewat kebaikan atau lewat bencana, termasuk bencana Merapi karena Merapi tak pernah ingkar janji.
Aku berdoa bagi mereka yang terkena dampak letusan gunung Merapi. Semoga Tuhan selalu menyertai mereka dan semoga mereka selalu mampu untuk berkata “Karsa Dalem Kalampahana”.