Selasa, 20 September 2011

Iman dan Teknologi


Pax Christie !
Sebagai manusia yang hidup pada zaman sekarang, kita tidak bisa lepas dari teknologi. Teknologi membantu kita untuk meringankan pekerjaan. Segalanya bisa menjadi mudah ketika kita dihadapkan pada teknologi. Namun apakah dengan itu kita melupakan begitu saja iman kita yang didasarkan pada sebuah proses yang begitu lama? Apakah iman kita tergerus dengan teknologi yang membawa kita pada budaya instan?
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak umat untuk berefleksi sejenak berkaitan dengan kehidupan nyata disandingkan dengan tradisi iman kita. Saya mengambil kisah Santo Agustinus sebagai referensi sehingga membantu kita dalam berefleksi.
Agustinus lahir di Tagaste (sekarang: Soukh-Ahras), Afrika Utara pada tanggal 13 November 354. Ibunya, Monika, seorang yang beriman Kristen dari sebuah keluarga yang taat agama; sedangkan ayahnya Patrisius, seorang tuan tanah dan sesepuh kota yang masih kafir. Agustinus belum juga dipermandikan menjadi Kristen meskipun ia sudah besar karena kekafiran Patrisius yang sungguh berpengaruh besar pada diri Agustinus.
Semenjak kecil Agustinus sudah menampilkan kecerdasan yang tinggi. Namun hidupnya tidak lagi tertib oleh aturan moral. Ia menganut aliran Manikeisme, suatu sekte keagamaan dari Persia yang mengajarkan bahwa semua barang material adalah buruk. Selanjutnya selama beberapa tahun, ia meragukan semua kebenaran agama – agama.
Pada tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano. Di sana ia berkenalan dengan Uskup Ambrosius, seorang mantan gubernur yang saleh. Ia menyaksikan dari dekat cara hidup para biarawan yang bijaksana, ramah dan saling mengasihi. Hatinya tersentuh dan mulailah ia berpikir: “Apa yang mendasari hidup mereka? Injilkah yang mewarnai hidup mereka itu?” Semuanya itu kembali menyadarkan dia akan nasehat – nasehat ibunya tatkala ia masih di Tagaste. Suatu hari, ia mendengar suara ajaib seorang anak: “Ambil dan bacalah!” Tanpa banyak berpikir, ia segera menjamah kitab Injil itu, membukanya dan membaca: “Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Rom 13:13-14).
Agustinus yang telah banyak mendalami filsafat itu akhirnya terbuka pikirannya dan melihat kebenaran sejati, yakni wahyu ilahi yang dibawakan Yesus Kristus. Ia kemudian bertobat dan bersama dengan sahabatnya Alipius.  Agustinus dipermandikan pada tahun 387. Dalam bukunya ‘Confession’, ia menulis riwayat hidup dan pertobatannya dan dengan terus terang mengakui betapa ia sangat terbelenggu oleh kejahatan dosa dan ajaran Manikeisme.
Pada tahun 388, ia kembali ke Afrika bersama ibunya Monika. Di kota pelabuhan Ostia, ibunya meninggal dunia. Tahun – tahun pertama hidupnya di Afrika, ia bertapa dan banyak berdoa. Kemudian ia ditabhiskan menjadi imam pada tahun 391 dan bertugas di Hippo sebagai pembantu uskup di kota itu. Sepeninggal uskup itu pada tahun 395, ia dipilih menjadi Uskup Hippo. Rahmat Tuhan yang besar atas dirinya dimuliakannya di dalam berbagai bentuk kidung dan tulisan. Tulisan – tulisannya meliputi 113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah. Tak terbilang banyaknya orang berdosa yang bertobat karena membaca tulisan – tulisannya. Tulisan – tulisannya itu hingga kini dianggap oleh para ahli filsafat dan teologi sebagai sumber penting dari pengetahuan rohani. Semua kebenaran iman Kristiani diuraikan secara tepat dan mendalam sehingga mampu menggerakkan hati orang.
Agustinus meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430 tatkala bangsa Vandal mengepung Hippo. Jenazah Agustinus berhasil diamankan oleh umatnya dan kini dimakamkan di basilik Santo Petrus.
Sebagai seorang Katolik kita seharusnya mendalami betul kisah di atas. Santo Agustinus pada awalnya sama seperti kita yang tidak luput dari dosa, namun perbedaannya adalah apakah kita mau untuk bergerak ke arah yang lebih baik yakni bertobat? Santo Agustinus telah melakukannya. Dari pengalaman sederhana sebenarnya kita mampu untuk bertobat.
Pada kesempatan kali ini saya mau mengajak umat untuk membaca Kitab Suci, apalagi bulan ini adalah bulan Kitab Suci Nasional. Santo Agustinus mengalami pertobatan ketika ia membaca sebuah perikop dalam Kitab Suci. Memang sulit untuk memahami setiap ayat yang terdapat di dalamnya, tetapi saya mau mengajak umat untuk tidak membacanya dengan logika tetapi dengan hati yang terbuka kepada wahyu Tuhan.
Bila dihadapkan pada budaya instan, kisah perjalanan hidup Santo Agustinus sangat cocok untuk kita teladani. Janganlah kita tergerus oleh keinginan-keinginan duniawi yang seringkali memangkas iman kita kepada Tuhan. Kecanggihan teknologi semakin “meminggirkan” Tuhan sebagai yang Esa. Padahal seharusnya kita sadar bahwa segalanya berasal dari Dia, Sang Seniman Agung.
Sebagai ciptaan kita hanya mampu untuk menyandarkan diri kepada kuasa Tuhan dan dengan besar hati mau menjadi alat-Nya di dunia ini. Akhir kata saya mengajak umat untuk melihat diri lebih jauh dengan sebuah cermin kehidupan bahwa segalanya berasal dari Tuhan. Budaya instan jangan sampai menggerus iman kita sebagai seorang Katolik. Dimuliakanlah Tuhan kita Yesus Kristus untuk selama-lamanya.
Deo Gratias !


HAM, Masih Adakah (?)



Judul buku       : Gereja dan Penegakan HAM
Penyunting       : Ruddy Tindage dan Rainy MP Hutabarat
Tebal Buku      : 251 Halaman
Penerbit           : ©2008 Kanisius

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah milik manusia sejak ia tampil sebagai manusia, sejak dalam rahim ibunya, terlebih sejak saat kelahirannya. HAM adalah sebagian dari hakikat manusia, jadi merupakan hak-hak alami, tidak bisa tidak dimiliki oleh manusia. Karena tidak ada yang memberikannya, maka juga tidak ada yang berhak mencabutnya. Itulah point yang selalu ditekankan dalam buku ini, di mana HAM diletakkan kedudukannya sebagai yang utama, sebagai dasar dari segala hak, sebagai anugerah yang pasti diterima oleh setiap manusia.
Yang menjadi keprihatinan adalah realita atau kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat di mana HAM tidak mendapat perhatian untuk diperjuangkan. Banyak sekali terjadi tidakan penganiayaan atau semacamnya yang terjadi di berbagai belahan dunia, padahal selaku badan Internasional, PBB telah mengaklamasikan Deklarasi Universal tentang HAM pada tanggal 10 Desember 1948 pasca Perang Dunia II. Sebagai bagian dari PBB, sudah sepatutnya bangsa Indonesia turut memperjuangkan HAM dalam kegiatan apapun, termasuk dalam membuat kebijakan yang menyangkut masyarakat secara luas. Pada tanggal 10 Mei 2006, Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Namun, apakah bangsa Indonesia yang memang pantas mendapat gelar itu? Rasa-rasanya belum. Masih banyak kasus yang terjadi di bangsa ini dan semuanya menyangkut dengan ketidakadilan terhadap kaum kecil, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang sampai detik ini pun masih terjadi. Di negeri yang tengah carut-marut ini masih banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang bukan saja belum terungkap dan ditangani secara hukum dan adil, tetapi juga belum ditulis dan dipublikasikan. Tulisan-tulisan mengenai HAM dalam buku ini mau mengajak masyarakat agar dapat mengetahui dan belajar dari kasus-kasus tersebut dan menjadi penghormatan atas HAM sebagai praksis hidup.
        Indonesia, khususnya di era Orde Baru merupakan salah satu Negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM berperingkat tinggi. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya proses pelanggaran HAM di Indonesia, antara lain adanya defisit demokrasi dan perwakilan yang semu. Artinya kebebasan tidak hanya diukur melalui kebebasan sipil yang sudah diperjuangkan di negeri ini, namun juga diukur dari bagaimana supremasi hukum dapat dirasakan masyarakat. Keadilan seakan bisa “dibeli” oleh kekuasaan. Para pejabat terpilih pun ternyata tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan mayoritas masyarakat yang miskin dan berkekurangan.
         Dari keprihatinan tersebut, terdapat kelompok-kelompok yang memperjuangkan adanya keadilan di bangsa ini. Mereka tak henti-hentinya menyerukan penegakan HAM. Pada dasarnya indikator utama Hak Asasi Manusia adalah diputuskannya lingkaran Impunitas, yakni warisan dari periode rezim otoritarian, di mana pelanggar hak asasi manusia tidak dapat dibawa ke pengadilan, karena kekuasaan mereka yang menghalangi hukum ditegakkan. Dengan diputuskannya lingkaran impunitas tersebut diharapkan keadilan di Indonesia tidak sebatas pada teori, namun lebih kepada praktek di lapangan.
Sejauh mana Gereja Indonesia menyikapi masalah ini?
       Pada awalnya Gereja memang antipati dalam urusan HAM karena memang HAM identik dengan urusan politik. Namun itu terjadi pada ratusan tahun silam di mana Gereja masih menjadi sebuah “panggung kekuasaan” yang sulit ditembus karena memang pada masa lalu Gereja sangat dekat dengan para penguasa yang notabene adalah para pelaku tindak kekerasan HAM. Gereja tidak ingin ikut campur dengan masalah HAM. Baru sesudah konsili vatikan II, Gereja bukan lagi menjadi “penguasa” tapi lebih sebagai sebuah “paguyuban” yang sangat terbuka dengan adanya kasus pelanggaran HAM.
    Sehubungan dengan wawasan HAM, panggilan gereja bukanlah semata-mata agar menjadi ecclesia docens (gereja yang mengajar), tetapi juga sebagai ecclesia discerns (gereja yang belajar). Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, Yesus menerobos keluar (out of the box) dari ketegangan di antara partikularisme dan universalisme di dalam yang terdapat dalam agama-agama dan menekankan pada universalitas berupa kesetaraan manusia. Dalam perumpamaan itu digambarkan HAM tidak hanya diperjuangkan dari bangsa, ras, dan suku yang sama. Seorang Samaria yang dikatakan sebagai musuh orang Yahudi pun mau untuk mengulurkan tangannya demi orang Yahudi yang menderita. Tindakan orang Samaria ini menggerakkan kita untuk memandang HAM sebagai sesuatu yang universal, yang mengatakan bahwa HAM tidak hanya milik golongan tertentu.
      Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, adalah panggilan untuk menghargai martabat sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Yesus, yang sering disebut sebagai Golden rule, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat padamu, perbuatlah demikian kepada mereka,” (Luk 6:31). Ajakan Yesus ini adalah ajakan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Alkitab melihat fungsi hukum itu, bukan sebagai pembatas, tetapi yang member kebebasan kepada manusia untuk menegakkan hak asasinya. Tidak ada penghargaan yang lebih besar untuk sesama, selain daripada kasih.
     Melihat kenyataan yang seperti ini, memang tak dapat dipungkiri bahwa Gereja harus berbuat sesuatu. Penegakan HAM adalah sesuatu yang penting. Tugas memperjuangkan hak-hak tersebut merupakan sebuah panggilan. Janganlah kita menutup mata akan kasus-kasus penyelewengan HAM dalam negeri ini. Kasus-kasus tersebut tidak boleh didiamkan karena negara kita maunya menjadi negara beradab dan negara beradab tidak melakukan yang dilakukan negara kita kepada korban-korban ketidakadilan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penegakan HAM adalah sesuatu yang baik. Dengan adanya proses itu, kita ingin menghadirkan Kristus yang hadir menyertai umat-Nya. Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana aku menjadi Alter Christus yang hadir untuk memperjuangkan keadilan, menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan untuk mewartakan kasih kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir itu?
We hold that these truths be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights
(John Locke)

Merapi Tak Pernah Ingkar Janji



Pada tanggal 27 Oktober 2010 sebuah peristiwa yang mengawali sejarah terjadi. Gunung Merapi meletus dengan tiada henti-hentinya. Peristiwa ini membuat tidak hanya masyarakat lokal panik, namun dampaknya sampai ke tingkat nasional.  Seminggu berlalu namun kondisi tak kunjung membaik, justru semakin parah dengan adanya wedhus gembel yang mencapai radius 15 km dari puncak Merapi.
Pada tanggal 3 November 2010, akhirnya Bumi Merto merasakan hujan abu vulkanik. Peristiwa itu membuka hatiku untuk peduli kepada mereka yang menjadi korban. Jika Seminari yang berjarak 25 km saja merasakan hujan abu, bagaimana dengan warga yang berada dalam radius 0-15 km? Lalu, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?
Tidak lama setelah itu Seminari Mertoyudan akhirnya membuka posko Peduli Merapi. Dalam waktu sebentar saja, sudah banyak bantuan logistik yang masuk ke gudang posko, bahkan bantuan dari Jakarta dan sekitarnya. Aku bersyukur bisa terlibat dalam kegiatan sosial ini. Memang apa yang kulakukan tidaklah sebesar apa yang telah dilakukan oleh tim SAR maupun para relawan yang terjun langsung di lokasi, namun aku senang bisa membantu mereka yang kesulitan dengan segala yang aku punya.
Situasi saat itu memang mencekam. Gempa vulkanik dapat dirasakan sampai radius 25-30 km dan membuat kaca-kaca bergetar. Hujan abu tiada henti-hentinya dan matahari pun sulit menampakkan sinarnya. Ada apa dengan ini semua? Mengapa kejadian ini terjadi di Indonesia yang terkenal dengan ketaatan beragamanya?
Bencana adalah bagian dari siklus peradaban manusia, termasuk pergeseran lempeng-lempeng bumi. Adanya bentuk bumi seperti sekarang bila kita telusuri lebih lanjut juga disebabkan karena adanya pergeseran lempeng-lempeng bumi. Namun, mengapa Indonesia menjadi bangsa yang paling sering terkena bencana dan dampaknya sampai pada level yang buruk seperti ini?
Sebagai umat beriman, kita perlu melihatnya dalam kacamata refleksi, tidak hanya di permukaan saja. Mengapa Tuhan “menganugerahkan” kita bencana-bencana? Mengapa Tuhan membiarkan Merapi meletus begitu dashyat? Itu karena Dia mencintai umat-Nya tanpa batas. Bila kita mau melihat apa yang terjadi saat Merapi meletus, kita akan melihat sebuah keajaiban dunia. Seluruh masyarakat Indonesia saling bahu-membahu memberikan bantuan kepada siapapun yang menjadi korban, tidak lagi mementingkan agama, suku, ras, atau apapun. Inilah poin refleksi yang ingin disampaikan, bahwa bencana menyatukan dunia.
Sudah sepantasnya kita pun bersyukur atas kejadian yang bencana yang telah terjadi. Kita bisa melihat wajah Tuhan yang tercermin dari setiap peluh yang keluar dari kening para korban maupun para relawan. Letusan-letusan magma menjadi letusan-letusan kasih yang membangkitkan kesadaran manusia yang semakin lama tergerus dengan budaya modern.
Bila kita mengimani Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, biarlah Dia berbuat apapun yang dikehendaki-Nya. Dia tidak akan memberikan keburukan pada umat ciptaan-Nya karena Dia adalah sumber kasih sejati. Sebagai manusia biasa kita hanya bisa berdoa, bersyukur, dan berusaha. Dia telah melengkapi janji-Nya untuk selalu setia pada manusia, entah lewat kebaikan atau lewat bencana, termasuk bencana Merapi karena Merapi tak pernah ingkar janji.
Aku berdoa bagi mereka yang terkena dampak letusan gunung Merapi. Semoga Tuhan selalu menyertai mereka dan semoga mereka selalu mampu untuk berkata “Karsa Dalem Kalampahana”.

Bagor[1] Kehidupan - Refleksi tentang seorang yang dijadikan Pemulung Manusia

Pagi itu, suara air sungai mengalir begitu pekat untuk didengar. Suara kokok ayam pun sahut-menyahut dengan azan subuh yang berkumandang di masjid, berlomba-lomba untuk minta didengarkan. Matahari belumlah terbit, namun aktivitas di perumahan elite kota Yogyakarta telah menunjukkan tanda-tandanya.
“Alhamdullilah,” ucap Pak Indra dan Bu Siti bersamaan, mensyukuri rahmat Sang Pencipta untuk hari yang baru. Selang beberapa waktu, aku baru bangun dari tidur. Aku terlelap dengan pulas karena memang aku tak terbiasa hidup di perumahan elite seperti itu. Masa laluku hanyalah berisikan hal-hal yang sederhana dan tidak berarti. Aku biasa tidur beralaskan kardus di rumah semi permanen, tidak seperti sekarang yang kurasakan. Aku tinggal di rumah super besar dengan springbed yang empuk bersama dengan Pak Indra dan Bu Siti.
“Apa sudah siap?” tanya Pak Indra. “Siap,pak!” jawabku bersemangat. Setelah sehari aku tinggal di perumahan itu, aku menjadi seorang yang beruntung. Tiap pagi aku harus mengikuti Pak Indra untuk berbagi harta dengan orang-orang di sekitar kami. Bagor sudah siap dipunggungku dan kami pun berangkat. Di setiap persimpangan jalan, aku bisa melihat suasana kota yang remuk seperti habis perang. Kota Yogyakarta luluh lantah. Rumah-rumah hanya beratapkan kardus bekas yang tersisa. Kendaraan di kota sangat sedikit, mungkin hancur ditembak nuklir. Sebagai orang “kaya baru” aku melewati sudut-sudut kota itu dengan elegan. Setiap melihat tempat sampah, mataku langsung terperangah dan langsung kubuang benda-benda yang ada di dalam bagor yang aku bawa.
Dua jam berlalu dan ternyata semua barang dalam bagor sudah habis. Setelah itu kami pun beristirahat. Lemon Juice telah menanti kami di rumah. Para pelayan di rumah sibuk menyiapkan segala masakan yang hendak kusantap. Menu pagi itu adalah spagheti lengkap dengan sausnya, ditambah buah-buahan sebagai hidangan penutup.
Siang harinya, aku dan Pak Indra pergi ke brangkas untuk mengumpulkan barang-barang yang hendak kubuang kemudian. Bila malam tiba, aku bermain dengan anak-anak yang lucu dan berpendidikan. Mereka semua sopan karena memang dididik dalam keluarga yang serba berkecukupan. Kututup hari ini dengan sebuah doa kepada Sang Pencipta Agung.
***
Segala sesuatunya telah terjadi. Namun semua itu hanyalah angan-anganku belaka. Yang terjadi sesungguhnya adalah kebalikan dengan ilustrasi di atas. Tanggal 7 Oktober 2010 aku menerima sebuah Surat Keputusan (SK) yang berisi bahwa aku harus menjalani live-in sebagai seorang pemulung di kota Yogyakarta. Bersama kedua teman lain, yaitu Adventa dan Juhas, aku melakukan persiapan atas SK tersebut, seperti mempersiapkan matras sebagai tempat tidur, membaca buku-buku tentang kemiskinan maupun membaca majalah mengenai perkampungan sosial Pingit Yogyakarta. Aku senang diutus untuk menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Tidak terbayangkan apa yang akan aku rasakan selama menjadi pemulung. Sejauh ini, aku hanya mendalami teori-teori tentang realita ketidakadilan di Indonesia. Lewat kasus-kasus pelanggaran HAM aku bisa melihat realita yang terjadi di masyarakat, namun hanya sebatas melihatnya saja tanpa bisa merasakannya. Dengan adanya Live-in ini aku akan merasakan sendiri bagaimana situasi ketidakadilan yang selama ini aku perjuangkan, tidak hanya diawang-awang saja. Ketika aku mempelajari ketidakadilan, aku seperti mengumpulkan tulang–belulang menjadi sebuah rangka tubuh manusia. Kesempatan live-in ini adalah sebuah sarana bagiku untuk memperoleh dagingnya sehingga apa yang aku perjuangkan bisa menjadi utuh dengan tulang beserta dagingnya.
Dengan dibekali berkat Israel dari Romo Agam, akhirnya pada tanggal 19 Oktober 2010 aku berangkat live-in dari Seminari menuju perkampungan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) Pingit Yogyakarta. Sebelumnya aku singgah dahulu di Kolese St. Ignatius (Kolsani) untuk bertemu dengan Fr. Benny, SJ dan kemudian berangkat ke kampung YSS Pingit. Selama perjalanan pikiranku sudah bercampur aduk, antara senang karena bisa merasakan realita masyarakat kelas bawah dengan perasaan takut untuk total dalam live-in ini. Bayangan akan kehidupan sebagai seorang pemulung merasuk ke dalam pikiranku, bagaimana nanti aku di sana? Apakah aku bisa makan? Apakah aku bisa tidur dengan nyenyak? dan pertanyaan-pertanyaan lain sebagainya. Untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu aku hanya berusaha berpikiran positif atas apa yang akan aku alami, bahwa Tuhan punya rencana di balik ini semua. Fr. Benny sedikit banyak telah menceritakan kehidupan masyarakat di sana sehingga aku mempunyai gambaran tentang kampung sosial pingit.
Akhirnya tiba juga aku di perkampungan sosial Pingit Yogyakarta, di belakang Universitas Janabadra. Aku senang karena tempatnya tidak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Kampung itu tampak bersih dan dirawat, tidak seperti kampung-kampung kumuh lainnya. Di sana aku berkenalan dengan keluarga Bpk. Indra, keluarga yang akan mendampingiku menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Aku senang karena Bpk. Indra dan Ibu Siti, istrinya adalah orang yang baik dan mau menerima kami dengan terbuka.
Di perkampungan inilah aku mencoba untuk berani melepas segala ketakutanku. Mulanya dengan bermain bersama dengan anak-anak di sini. Aku menikmati segala permainan anak-anak. Mereka tampak sangat terbuka denganku dan mau menerimaku untuk masuk ke dalam lingkungannya. Sebelumnya, aku adalah seorang yang sungkan untuk berelasi dengan orang lain, apalagi anak-anak. Namun, melihat keceriaan mereka, aku pun ikut bergabung dan mau terlibat. Aku ingin meninggalkan wilayah nyamanku untuk masuk ke dalam wilayah berani yang Tuhan tawarkan padaku, yaitu kehidupan masyarakat kampung sosial Pingit.
***
Di sudut kota Jogja, di sebuah rumah semi-permanen aku tinggal. Hanya suara alunan gamelan dan hentakan suara dalang dari sebuah radio kecil yang terdengar di pagi hari bersamaan dengan suara azan berkumandang, menceritakan kisah pewayangan Baratayudha maupun kisah-kisah pewayangan lainnya. Radio inilah yang menjadi teman keluarga Pak Indra dan aku setiap harinya untuk menghabisi pagi sebelum listrik dipadamkan tepat jam tujuh pagi.
Setiap hari aku harus bekerja sebagai seorang pemulung. Kota Jogja dengan segala keramaiannya menjadi pemandangan sehari-hari. Rumah-rumah dan gedung-gedung bertingkat beserta dengan kendaraan-kendaraan elite melintas di setiap gerak mataku. Di setiap tempat-tempat sampah aku berhenti sejenak untuk melihat apakah ada barang yang bisa aku bawa untuk dijual kembali. Bagor adalah saksi sekaligus teman bagiku dalam bekerja sebagai seorang pemulung. Tidak ada rasa malu lagi karena memang aku ingin menghidupi semangat perutusan ini. Jalan-jalan protokol maupun gang-gang sempit siap aku lewati. Dari pasar,toko, hingga sekolah menjadi tempat yang selalu aku datangi untuk mencari sebuah kehidupan.
Ketika aku menggendong bagor, ketika itu pula aku merasakan betapa kerasnya menjalani hidup sebagai seorang yang berada di dalam level masyakarat paling bawah, namun pada saat yang sama aku merasa menjadi orang yang paling kaya di dunia. Pada saat aku mengambil sebuah botol bekas yang berada di tempat sampah, aku bisa bersyukur atas rahmat Tuhan lewat botol itu. Bila dibandingkan dengan segudang perhiasan milik para pejabat, botol itulah yang lebih bernilai harganya karena di sana ada rasa syukur sedangkan bagi orang-orang kaya, segudang perhiasan itu tidak ada harganya karena mereka ingin lebih dan lebih dan tidak mau bersyukur atas apa yang telah diterima. Botol bekas mengalahkan segudang perhiasan karena ada nilai yang tidak bisa dibeli dengan apapun, yakni rasa syukur.
Dalam menjalani hidup sebagai seorang pemulung, aku pun menjumpai hambatan-hambatan yang menghalangiku bekerja. Pengalaman diasingkan dan dipandang sebelah mata menjadi bumbu setiap harinya, ditambah hasil yang didapat kurang memuaskan. Namun, aku mencoba untuk TOTAL dalam menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Pengalaman diasingkan oleh masyarakat menjadi prestasi tersendiri bagiku karena aku bisa belajar menjadi seperti Yesus yang diasingkan ketika menjalani perutusan-Nya di dunia. Aku bisa membayangkan betapa perihnya penderitaan Yesus saat itu, penderitaan yang jauh lebih berat dari pada penderitaan yang aku rasakan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan penderitaan tidak akan menuai penyesalan, melainkan sebuah rasa syukur akan prestasi yang didapat.
Tidak hanya di jalan aku menemui berbagai hambatan. Ketika kembali ke rumah di perkampungan sosial Pingit itulah aku kembali menemukan segala tantangan yang ada. Situasi latar belakang masyarakat di sana bisa dikatakan buruk. Untuk makan saja sulit apalagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Aku bisa merasakan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Tidak hanya orang-orang dewasa, anak-anak pun seperti tidak terurus oleh orangtua mereka sendiri. Astuti, Lintang, Sita, Dias, Andri, Teguh, dan yang lainnya menjadi malaikat-malaikat kecilku di sana. Meskipun bisa dibilang anak super nakal tetapi aku bisa melihat kerinduan dalam diri mereka; kerinduan untuk dihargai, untuk merasa dicintai, dan kerinduan untuk hidup normal seperti anak-anak lainnya yang bersekolah.
Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan karena memang meskipun aku berada di dalam sebuah keluarga yang berkecukupan namun aku pernah mengalami betapa menderitanya menjadi anak yang tidak dihargai. Segala sesuatu tentang aku hanya dipandang sebelah mata oleh keduaorangtuaku. Mereka hanya membandingkanku dengan kakakku dan segala kelebihannya sebagai anak yang ideal. Melihat anak-anak di perkampungan sosial ini membuat hatiku bergetar dan bisa meraskan keinginan hati mereka yang terdalam. Aku hampir menangis ketika dengan segala kekurangannya mereka dapat memberikan sedikit yang mereka punya untukku. Meskipun hanya segelas teh panas dan permen coklat, aku bisa merasakan ketulusan yang mereka punya. Itulah teh panas yang paling enak yang pernah aku minum dan permen coklat yang paling manis yang pernah aku makan.
Dalam berelasi dengan anak-anak itu, aku mencoba untuk sabar. Sulit memang menghadapi anak-anak dengan latar belakang yang buruk, namun aku tetap berusaha untuk memahami mereka seutuhnya, bukankah dulu aku pun ingin dimengerti dan ingin dicintai? Maka aku pun mencoba melakukannya, entah lewat permainan maupun dengan mengajarkan mereka berbagai pelajaran, dari matematika hingga bahasa Inggris maupun pelajaran-pelajaran lainnya.
Kesulitan-kesulitan pun sering aku jumpai, misalnya saja betapa sulit bagiku untuk makan karena apabila ingin makan pasti diikuti oleh anak-anak itu. Rasa jengkel pun muncul, namun aku tak tega untuk membentak dan mengusir mereka. Aku pun tidak tega untuk makan di depan mereka yang notabene untuk makan saja mereka sulit. Ada lagi cerita tentang bagaimana anak-anak begitu liarnya apabila berbicara denganku. Kata-kata kasar sering aku terima. Sebagai seorang remaja normal aku pun sering emosi menghadapi mereka, namun kesulitan-kesulitan semacam inilah yang menjadi tantangan bagiku di sana, belum lagi kesulitan menjalin relasi dengan keluarga-keluarga di kampung sosial Pingit. Kehidupan mereka yang keras menjurus pada pilihan sikap mental yang keras pula. Untuk menyapaku saja jarang apalagi mengajak ngobrol. Namun aku tidak menyerah. Setiap kali berpapasan aku pasti menyapa dan bila ada kesempatan aku ajak ngobrol mereka.
Pengalaman live-in mendorong hatiku untuk terbuka dengan masa lalu. Aku adalah pribadi yang kurang matang karena aku sering lari dari kenyataan dan tidak berani untuk menghadapinya secara langsung. Tetapi Pengalaman menjadi seorang pemulung di Jogja menjadi kesempatan bagiku untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting. Aku tidak mungkin bisa lari dari kenyataan bahwa aku seorang pemulung dan hidup di daerah perkampungan yang mempunyai latar belakang yang buruk. Kemiskinan bukanlah sebuah pilihan yang mereka ambil, namun sebuah kenyataan yang harus diterima dan diperjuangkan selalu. Dari mereka aku belajar untuk menghadapi sebuah realita secara langsung, bukannya lari dan menghindar. Tetapi ketika aku berani untuk menghadapi realita tersebut aku justru mendapatkan keinginan untuk berjuang melewatinya. Di sanalah aku belajar untuk tahan banting terhadap situasi yang kurang menguntungkan. Ketika aku menggendong bagor dan ketika butiran keringat menetes dari setiap pori tubuhku, di sanalah aku bisa menemukan Tuhan yang mengajakku untuk menjadi pribadi berkualitas.
Suatu kerinduanku adalah berdamai dengan diriku sendiri. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang membuatku tidak suka dengan diriku sendiri. Betapa aku merasa sebagai pribadi yang tidak beruntung dan selalu menerima kenyataan pahit, misalnya saja ketika aku harus hidup dengan latar belakang yang kurang diperhatikan. Pengalaman live-in ini juga membuka mata hatiku bahwa aku bukanlah orang satu-satunya yang harus menerima kenyataan-kenyataan pahit yang harus diterima. Orang-orang di perkampungan sosial Pingit menjadi bukti konkrit bahwa aku bukanlah orang yang buruk. Lewat pengalaman live-in ini aku bisa bersyukur atas segala sesuatu yang pernah aku dapatkan sekalipun itu harus menyakitkan hatiku sendiri. Masih banyak orang yang jauh  lebih menderita, namun mereka berani berjuang dan tidak mengeluh. Justru dari mereka aku belajar untuk semakin terbuka dengan rahmat Tuhan. Penderitaan bagaikan hadiah yang ditawarkan oleh Tuhan. Awalnya memang buruk, namun ternyata di balik itu Tuhan menyiapkan rahmat yang besar bagi orang yang berani menerimanya.
Menjadi seorang pemulung di Jogja adalah sebuah rahmat bagiku untuk melihat betapa Tuhan sangat mencintaiku. Aku tumbuh sebagai seorang pendosa, tetapi Tuhan tetap saja memberi jalan agar aku bisa melihat sebuah harapan dan rencana besar di belakangnya. Pengalaman berinteraksi dengan masyarakat kelas bawah membuat hatiku tergerak untuk berbuat sesuatu. Keinginan untuk memperjuangkan keadilan sudah tumbuh sejak aku masih kecil. Pengalamanku dinomorduakan oleh orangtua menggerakkanku untuk membela keadilan. Dengan melihat realita sosial yang begitu memprihatinkan di masyarakat kelas bawah, hatiku semakin terdorong untuk membela mereka yang tertindas.
Kenyataan hidup yang sulit bukanlah pilihan mereka. Membuat mereka menjadi masyarakat yang berkecukupan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Aku mengakui keterbatasanku sebagai seorang remaja yang juga sulit merubah realita yang ada. Namun ada satu kata yang mungkin bisa memberi arti bagi mereka, yakni terlibat. Dengan terlibat aku bisa senasib dan sepenganggungan dengan mereka. Dengan terlibat aku bisa solider dan sungguh-sungguh merasakan realita yang sama dengan realita yang mereka alami. Mungkin aku tidak bisa memberi sumbangan berupa material, namun dengan kehadiranku aku bisa setidaknya meringankan hati mereka untuk menyadari bahwa mereka tidak sendiri menjalani hidup yang serba sulit.
Aku bersyukur pada Tuhan atas pengalaman live-in menjadi seorang pemulung. Lewat pengalaman ini aku bisa belajar banyak mengenai makna-makna kehidupan yang selama ini belum aku ketahui. Dari sanalah jiwaku terpanggil untuk melayani sesama yang miskin dan menderita. Aku bisa melihat wajah Tuhan dalam setiap orang yang aku jumpai. Di dalam kemiskinan aku dapat menemukan kekayaan, mutiara yang tak ternilai harganya bahwa Tuhan akan selalu menyertai setiap langkah umat-Nya yang berserah setia kepada-Nya. Lewat bagor yang kupanggul setiap hari, Engkau memanggilku untuk menjadi seorang pemulung manusia. Karsa Dalem Kalampahana.

Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya
 (1 Petrus 2: 21)
30 Oktober 2010
Ketika air mata menghujani Ibu Pertiwi
Ignatius Fajar Santoso
- Ad Maiorem Dei Gloriam -


[1] Sebutan untuk Karung yang digunakan oleh pemulung

Yang Kecil Yang Ditinggikan




Sebuah Moment Besar
Peristiwa lahirnya Yesus Kristus merupakan sebuah titik balik peradaban manusia di dunia. Peristiwa itu menjadi awal terbentuknya Gereja yang mengimani Yesus sebagai Sang Sabda yang telah menjadi manusia (bdk. Yoh 1:1). Peristiwa itu telah menarik lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia untuk mengikuti ajaran-Nya, lebih dari 30% dari total penduduk dunia.[1] Peristiwa itulah yang sekarang kita kenal sebagai Natal.
Sebagai seorang anak kecil, datangnya Natal selalu ditunggu-tunggu. Mengapa begitu? Karena ketika Natal tiba akan mendapatkan sesuatu yang baru, seperti baju baru, mainan baru dan barang-barang lain yang serba baru. Bagi aktivis gereja, Natal mungkin identik dengan kegiatan luar biasa yang memungkinkan untuk terlibat di dalamnya. Gereja menjadi tempat untuk mengekspresikan diri.
Bagaimana dengan pelaku bisnis? Bagi pebisnis biro perjalanan misalnya, Natal dikaitkan dengan ramainya perjalanan wisata. Banyak orang yang melakukan ziarah atau wisata rohani ke berbagai tempat. Ada lagi perusahaan yang memaknai Natal sebagai ajang untuk menebar diskon. Natal menjadi waktu yang tepat untuk mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Lain lagi dengan para pekerja. Para pekerja (buruh) mungkin saja memaknai Natal dengan Tunjangan Hari Raya (THR). Maka Natal memberi makna yang berbeda untuk orang yang berbeda.
Peristiwa Natal membawa kita pada peristiwa kesederhanaan, di mana Tuhan mau merendahkan diri sama seperti manusia, bahkah lebih rendah dari itu. Kita perlu mengingat peristiwa Natal yang pertama di mana Yesus dilahirkan bukan di tempat istimewa namun  Yesus lahir di tempat hina, kandang Betlehem pada tahun 5 atau 4 sebelum masehi.[2] Baik Matius maupun Lukas menegaskan bahwa Yesus lahir di Betlehem, sebuah kampung kecil di selatan Yerusalem. Matius mengisyaratkan bahwa Betlehem merupakan tempat tinggal Maria dan Yusuf yang sebenarnya, tetapi pasangan tersebut kemudian berpindah ke Nazaret. Namun, Lukas menyatakan bahwa pasangan tersebut tinggal di Nazaret, tetapi pergi ke Betlehem karena sensus yang diadakan tidak lama menjelang Maria melahirkan.[3]
Peristiwa Natal adalah sebuah moment besar yang diakui sebagai sebuah titik pijak umat Kristen di dunia. Natal mempunyai banyak makna yang tersirat di dalamnya. Orang-orang di berbagai belahan dunia selalu memilih tempat terbaik untuk kelahiran anaknya. Mungkin saja di kota terkenal, dokter ternama, rumah sakit bergengsi, dan hotel— penginapan berkelas. Tetapi ketika Yesus Kristus -Anak Allah- lahir semua itu tidak kita jumpai. Sejarah mencatat, tidak ada tempat yang lebih hina dari tempat kelahiran Juruselamat. Dia lahir di tempat yang tak terduga. Tempat yang tidak pantas untuk lahirnya Raja di atas segala raja. Namun, semua terjadi seperti nubuat Nabi Mikha. “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mika 5:1).[4]
Hal yang menarik dalam kesederhanaan Natal yakni membuat manusia yang hina jadi mulia. Paulus menuliskannya kepada jemaat di Korintus. “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2 Kor. 8:9). Dampak Natal menjadi luar biasa bagi mereka yang memercayainya, terlebih kepada Pribadi yang berada di dalamnya. Pribadi itu tiada lain Yesus Kristus sendiri.
Ruminansia yang spesial
Dalam memaknai Natal, kita dapat melihatnya dari berbagai macam peristiwa dalam kelahiran Yesus sendiri. Tentu kita mengenal berbagai macam hal yang berkaitan dengan misteri besar penyelamatan Allah, seperti Gembala, Tiga Majus dari timur, Maria, Yosef dan lain sebagainya. Kita juga bisa melihat sebuah peran yang mungkin jarang sekali diperhatikan dalam peristiwa natal itu sendiri, yaitu domba.
Domba atau biri-biri adalah ruminansia dengan rambut tebal dan dikenal orang banyak karena dipelihara untuk dimanfaatkan rambut (disebut wol), daging, dan susunya.[5] Dalam ritus Gereja, kita sering mendengar ungkapan Agnus Dei yang berarti Domba Allah (=Latin). Ada apa dengan Agnus (domba) ?
Domba menjadi  simbol yang seringkali muncul dalam perikop-perikop Kitab Suci, termasuk ketika Yesus lahir di kandang domba. Lihatlah bagaimana Tuhan merencanakan segalanya. Kelahiran Yesus disaksikan oleh domba, sebuah cerminan akan diri-Nya sendiri yang nantinya akan menjadi Anak Domba Allah yang menebus dunia yaitu ketika Yesus mati di kayu salib.
Dalam perkembangannya, Yesus sangat sering memberikan perumpamaan tentang domba, baik perumpamaan domba yang hilang, domba di tengah serigala, maupun perumpamaan-perumpamaan lain yang berkaitan dengan domba. Nampaknya, hal ini dapat ditarik sampai kepada awal masa Perjanjian Lama. Pada zaman nenek moyang Israel, Seekor anak domba jantan yang tidak bercela dan berumur setahun merupakan kurban yang berkenan kepada Allah (lih: Kel 12) waktu umat Israel keluar dari Mesir.[6] Pada masa Perjanjian Lama, domba juga dipakai sebagai korban persembahan bagi Tuhan (bdk. Imamat 9: 3). Hal ini menjadi sumber di mana nantinya Yesus sendiri dilambangkan sebagai Anak Domba yang dikorbankan demi penghapusan dosa manusia.
Tradisi kuno anak domba Paskah juga mengilhami umat Kristiani untuk menyajikan daging anak domba sebagai hidangan populer pada masa Paskah. Hingga sekarang, daging anak domba disajikan sebagai menu utama Minggu Paskah di berbagai daerah di Eropa timur. Tetapi, seringkali bentuk-bentuk anak domba kecil terbuat dari mentega, roti atau pun gula-gula menggantikan sajian daging anak domba, dan menjadi hidangan utama jamuan Paskah.[7]
Domba sangat identik dengan gembala. Kedua hal ini tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Pada masa Perjanjian lama, ungkapan domba-gembala pun telah digunakan. Mazmur 23 —Tuhan, gembalaku yang baik— adalah salah satu bukti bahwa pada masa itu, umat Israel juga menganalogikan dirinya sebagai domba yang dikasihi Gembala Agung, yakni Tuhan sendiri.  Kiasan domba digunakan juga bagi umat beriman sesuai dengan peranan Yesus sebagai Gembala Baik (bdk. Yoh 10).
Domba = Penyelamat Dunia
Sebagai Anak Domba yang dikorbankan demi pengampunan dosa, Yesus pun tidak luput dari gelar Sang Penyelamat. Yesus adalah penyelamat sebagaimana sudah dikatakan pada kelahiran-Nya di Betlehem (Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud - Luk 2:11). Kata menyelamatkan sendiri dipakai oleh Lukas dalam Injilnya sebanyak 18 kali dan 18 kali lagi dalam Kitab Para Rasul. Yesus adalah pernyataan dan perwujudan dari keselamatan Allah sendiri.[8] Anak Domba menjadi simbol keselamatan dalam rangka mewartakan Kerajaan Allah untuk orang-orang kecil, lemah, miskin dan tertindas (KLMT).
Perumpamaan domba yang hilang (Luk 15:1-7) adalah perumpamaan yang menarik bagi kehidupan umat beriman. Perumpamaan itu mau menggambarkan sifat manusia yang seringkali keluar dari jalur dan melupakan Sang Gembala Agung. Di sini Yesus mau menyampaikan bahwa Dia sendiri, sebagai Sang Gembala Agung tidak segan-segan untuk meninggalkan sembilah puluh sembilan domba yang benar dan mencari satu domba yang hilang. Tuhan ingin menyatakan Kasih-Nya tidak hanya kepada orang benar tapi justru kepada orang-orang yang tidak benar, yang tersesat.
Yesus berkata kepada para pendengar-Nya secara langsung: Siapa di antara kamu…(Luk 15:4). Apa yang Ia maksudkan ialah semua akan mencari seekor domba yang hilang, kenyataannya Ia berbicara mengenai apa yang tidak akan dilakukan oleh banyak orang. Tetapi yang menarik, cerita itu memaksa pendengar menyetujui. Sekejap kita diajak masuk ke dalam dunia Allah, melihat dan bertindak seperti Dia.[9]
Dalam perumpamaan itu, kita dapat melihat sikap dari sang gembala setelah ia menemukan domba yang hilang. Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan (Luk 15:6). Ungkapan ini adalah ungkapan Allah sendiri. Allah tidak ingin menyimpan kegembiraan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dia ingin setiap orang mengambil bagian dalam kegembiraan itu. Sukacita Allah adalah sukacita para malaikat dan orang kudus; sukacita semua penghuni Kerajaan Surga.[10] Pada akhir Perjanjian Baru, kemenangan Allah yang terakhir digambarkan sebagai perjamuan kawin yang mewah, “Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba. Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba.”[11]
Allah bersukacita bukan karena persoalan-persoalan dunia telah dipecahkan, bukan karena derita manusia telah berakhir, juga bukan karena ribuan orang telah bertobat. Allah bersukacita karena domba-Nya yang hilang telah kembali, sebuah perumpamaan akan kembalinya seorang yang bertobat. Kasih-Nya yang begitu besar telah mengalahkan dosa-dosa manusia dan karena itulah Allah dimuliakan kini dan sepanjang masa.
Yesus mengutus murid-Nya
Perumpamaan tentang domba tidak ada habisnya bahkan ketika Yesus telah bangkit. Dalam perjumpaannya dengan Petrus Yesus pun memberikan perintah kepada Petrus dengan mengutusnya menjadi seorang gembala dengan perkataan Gembalakanlah domba-domba- Ku. (Yoh 21: 16). Dari sini kita bisa melihat bahwa Tuhan ingin mewartakan Kerajaan Allah dengan model hubungan antara Gembala dengan domba. Gembala di sini adalah Yesus sendiri — Sang Gembala sejati — dan para murid, sedangkan domba adalah umat Allah yang merindukan akan kasih sayang Tuhan.
Para penulis Injil mau menggambarkan dengan jelas bahwa keselamatan Tuhan dengan kehadiran-Nya di dunia sebagaimana berada dalam diri Yesus sendiri, dalam kebaikan-Nya ditujukan untuk orang yang miskin dan malang, untuk orang berdosa dan terbuang, yang dianalogikan sebagai domba-domba itu. Pernyataan kasih Tuhan sebagai seorang gembala diturunkan kepada para murid lewat perutusan yang diwakili oleh Petrus sendiri sebagai Paus (Pemimpin tertinggi Gereja Katolik) yang pertama.
Di sinilah kita bisa melihat peran dari domba itu sendiri. Banyak hal yang bisa kita refleksikan dari seekor domba. Tuhan Yesus mau memberikan perumpamaan bahwa domba adalah hewan yang lemah dan tidak berdaya, namun lewat itulah Tuhan mau menyampaikan kebesaran kasih-Nya yang nyata. Sekarang giliran kita yang ditantang untuk menjadi gembala-gembala dalam misi keselamatan Allah sendiri untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang agar kembali kepada-Nya. Kita bahkan ditantang untuk menjadi seperti Yesus sendiri, menjadi Anak Domba yang menyerahkan nyawa seutuhnya dalam karya keselamatan Allah di dunia. Mau?


SUMBER BACAAN
1.      Lembaga Alkitab Indonesia. 1993. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia
2.      Keene, Michael. 2007. Yesus.Yogyakarta:Kanisius
3.      Bergant, Dianne. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius
4.      Nouwen, Henri, J.M. 1995. Kembalinya Si Anak Hilang. Yogyakarta
5.      Jacobs, Tom, SJ. 1982. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta
6.      Sagala, Mangapul. Memahami Makna Natal. http://gkpb.wordpress.com/2009/01/05/memahami-makna-natal/
8.      http://www.ebahana.com ,


[1] Keene, Michael. 2007. Yesus.Yogyakarta:Kanisius. Hal 6
[2] Keene, Michael. 2007.Hlm.6
[3] Keene, Michael.Yesus.Yogyakarta:Kanisius. Hlm.125
[4] http://www.ebahana.com , diunduh tangga 8 Desember 2010
[5] http://id.wikipedia.org/wiki , diunduh tanggal 8 Desember 2010
[6] Heuken,Adolf, SJ.2005.Ensiklopedi Gereja-Jilid I. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
[7] http://gema.sabda.org/ , diunduh tanggal 8 Desember 2010
[8] Jacobs, Tom, SJ. 1982. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.
[9] Bergant, Dianne. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.143.
[10] Nouwen, Henri, J.M. 1995. Kembalinya Si Anak Hilang. Yogyakarta:Kanisius.Hlm.132
[11] Nouwen, Henri, J.M. 1995.Hlm.132