Selasa, 20 September 2011

KEMARTIRAN



  1. Definisi Martir
Sebuah peristiwa besar yang terjadi pastilah memiliki penjelasan yang menarik untuk diikuti. Begitu pula dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para martir. Martir adalah saksi iman yang mencurahkan darahnya demi iman atau kepatuhan pada kesusilaan kristiani.[4] Dalam bahasa Yunani martir berarti seseorang yang mengingat dan memiliki pengetahuan tentang kebenaran, secara literal berarti seorang saksi.[5] Kebenaran sendiri adalah keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya.[6] Maka, dalam diri seorang martir mengalir hasrat yang kuat untuk memberikan kesaksian mengenai keadaan atau situasi yang sebenarnya terjadi, tidak hanya menyaksikannya saja, tetapi juga mewartakannya, sekalipun itu membuat dirinya mengalami suatu penderitaan yang hebat bahkan sampai meninggal dunia.
Banyak orang telah menderita dan mati sebagai martir dengan berbagai sebab, antara lain karena mereka menolak untuk tunduk pada kelompok-kelompok ideologi tertentu, dibunuh karena mempertahankan keyakinan iman, disiksa dan akhirnya mati karena membela keadilan dan berusaha melindungi kaum tertindas, dan masih banyak sebab lainnya. Bagi mereka kehidupan tidaklah menjadi hal yang terutama, namun kebenaran adalah sesuatu yang mutlak untuk diperjuangkan.
Selama berjalannya waktu, banyak kasus kematian terjadi didasarkan atas nama agama atau demi nama Tuhan, contoh konkritnya adalah kasus terorisme. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Paham kemartiran sering diputarbalikkan sebagai perisai untuk berbuat kejahatan. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia martir didefinisikan sebagai orang yang rela mati demi memperjuangkan agama, bukan sebagai orang yang membunuh sesama dengan mengatasnamakan agama. Pandangan ini sama sekali tidak benar. Martir bukanlah seorang yang menghilangkan nyawa orang lain. Martir memiliki hati yang suci dan murni untuk memberikan yang terbaik untuk orang lain dengan mengorbankan nyawanya.
Para pahlawan sering diidentifikasi sebagai seorang martir. Mereka rela mengorbankan nyawanya untuk kepentingan nusa dan bangsa. Perjuangannya telah melekat sebagai bentuk dari rasa nasionalis terhadap Negara. Dalam diri mereka terdapat sebuah motivasi tersediri yang ingin diperjuangkannya sebagai bentuk kemartiran. Totalitas diri menjadi sangat penting. Mereka tidak setengah-setengah, namun total dalam bertindak.
Dalam beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa martir adalah seseorang atau sekolompok orang yang telah menderita dan mati karena memperjuangkan iman, keyakinan, dan kebenaran. Para martir tidak mempedulikan dirinya sendiri

  1. Pandangan Gereja Menganai Martir
Menurut Lumen Gentium artikel 50, martir didefinisikan sebagai orang yang rela menderita dan mati karena iman dan cintanya kepada Kristus. Iman sendiri adalah sikap manusia dalam menanggapi wahyu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Gereja Katolik mengakui seseorang menjadi martir jika pembunuhannya pasti, berkaitan dengan iman dan keanggotaannya dalam Gereja, menerima kehendak Allah walaupun diancam. Ketika syarat tersebut ditetapkan oleh Paus Benediktus XIV (+1758) dan dipertegas oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1983.[7]
Dalam perjalanannya, sudh banyak orang yang muncul sebagai martir. Tetapi di balik itu semua, orang pertama yang menderita bagi Gereja adalah Yesus Kristus sendiri, bukan sebagai martir tetapi sebagai inspirasi dan sumber semua kemartiran.[8] Dalam Injil Markus 1:15[9], diungkapkan bahwa misi Yesus di dunia adalah mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu sendiri merupakan inti ajaran Yesus yang menandakan kekuasaan Allah yang telah dimulai dengan kedatangan Yesus dan kekuasaan Yesus di masa depan.[10] Dalam menjalankan misi-Nya, Yeseus tahu bahwa pada akhirnya Ia akan berhadapan dengan penolakan, penderitaan, dan kematian. Dalam tiga kesempatan yang terpisah, Yesus mencoba untuk mengingatkan para murid-Nya tentang kematiaannya yang akan dating, tetapi mereka selalu gagal memahami makna di balik apa yang dikatakan Yesus kepada mereka.[11]
Yesus menerima dengan pasrah kematian-Nya karena Ia percaya bahwa hal itu merupakan bagian tak terpisahkan degnan rencana Allah demi keselamatan manusia.[12] Begitu pula dengan martir, mereka merelakan seluruh hidupnya bagi Tuhan. Di dalam kitab Wahyu 6:9[13] disebutkan bahwa para martir dibunuh oleh karena firman Allah dan kesaksian mereka tentang Injil. Dapat dibayangkan betapa besarnya cinta para martir kepada Tuhan sehingga mereka rela untuk mengorbankan nyawanya sendiri demi iman.
Tidak hanya dalam Perjanjian Baru, Perjanjian Lama pun menceritakan situasi yang dialami oleh para martir. Dalam  Mazmur 23:9[14] mau menggambarkan kepercayaan para martir yang begitu besar kepada Tuhan sekalipun mereka menerima penderitaan bahkan kematian. Mereka memilih mati dengan cara mengenaskan bukan karena mereka ingin menunjukkan sikap egoisentrik mereka untuk terkenal tetapi memang dilandasi dengan sikap setia kepada Allah.
Di dalam suratnya[15] Rasul Paulus mengatakan bahwa manusia telah mati bagi dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Kristus. Setiap orang di dunia ini termasuk para martir pasti pernah melakukan dosa, tetapi rasul Paulus mengatakan bahwa manusia telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus oleh babtisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa. Dosa selalu identik dengan kematian. Dosa menyebabkan keadaan yang buruk yang hanya dapat dipulihkan oleh Allah.[16] Dosa membuat jiwa menjadi jauh dari sumber kebahagiaan, yaitu Allah.[17] Maka dari itu, Allah mengutus Putera-Nya Yesus Kristus ke dunia untuk mendamaikan kembali hubungan Allah dengan manusia yang rusak karena dosa. Yesaya menggambarkan Yesus sebagai Sang Mesias yang menderita dan wafat untuk menebus manusia yang berdosa.[18]
Bagi para martir gambaran Mesias dapat menjadi sumber relasi dalam mengambil pilihan sikap untuk mati demi iman. Dalam diri Yesus digambarkan bagaimana orang yang benar berhadapan dengan realitas dunia.[19] Dia yang taat kepada kehendak Allah dan menyerahkan diri seutuhnya sampai menderita kepada Allah dinyatakan akan menjadi cahaya bagi para bangsa.[20] Begitu pula dengan para martir yang menderita dan wafat karena berhadapan dengan realita dunia. Mereka menjadi korban di balik penderitaannya.
Ritus korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan eksistensinya.[21] Dalam ritus korban terjadi dua tindakan yang saling berlawanan. Di satu pihak korban itu suatu kewajiban suci, di lain pihak korban itu merupakan suatu tanda kriminal, karena dalam korban itu terjadi pembunuhan korban. Ambivalensi ini disebabkan karena karakter korban itu adalah suci.[22] Disebut suci karena justru disebabkan oleh pembunuhan itu. Kata korban di sini identik dengan kekerasan. Untuk mengetahui hubungan korban dengan kekerasan, kita dapat melihat kembali pada hipotesis klasik tentang subtitusi sebagai dasar bagi praktik korban.[23] Secara moral korban dapat dilihat sebagai pribadi tidak bersalah tetapi menggantikan yang bersalah. Secara religius korban itu suci menggantikan yang tidak suci.[24]
Berbeda dengan Yesus, kematian-Nya bukan korbani sifatnya. Ia mati bukan sebagai korban, melainkan agar tidak ada lagi korban.[25] Ia merelakan nyawa-Nya sebagai konsekuensi terhadap sikap-Nya yang anti kekerasan. Memang Yesus dihukum mati, tetapi justru karena kesetiaan-Nya yang tanpa syarat dan tanpa kompromi sedikitpun terhadap sabda Allah yang menghendaki manusia untuk mencintai musuh dan tidak membalas dendam.[26]
Sejak tahun 63 SM, Palestina menjadi koloni Roma.[27] Bangsa Yahudi percaya bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah, bila mereka patuh terhadap pemerintahan Roma maka mereka dianggap tidak setia kepada Allah. Dari latar belakan tersebut, bangsa Yahudi sangat menantikan pembebasan.
Bagi masyarakan Yahudi, kekerasasn itu perlu untuk memulihkan tatanan masyarakat mereka.[28]Artinya mereka memerlukan kekerasan agar tradisi dan adat istiadat mereka selalu terpenuhi dengan baik. Bagi mereka kematian Yesus tidak berarti akan memulihkan atau menghapuskan kekerasan. Kekerasan akan terus berlanjut tanpa batas, dan itu adalah hasil dari masyarakat itu sendiri.[29]
Dalam kesaksiannya, para martir telah memberikan pandangan bahwa kekerasan dapat dilawan dengan anti kekerasan. Di balik penderitaannya, terdapat kemenangan yang besar di sana. Seperti sabda Yesus, “Siapa berani kehilangan hidupnya akan memperoleh hidup kekal.” Para martir telah mengambil pilihan sikap untuk merelakan diri demi sebuah kehidupan abadi di Surga. Mereka menjadi seorang murid Kristus yang dalam keradikalan Yesus sendiri mau hidup seperti Yesus hidup.[30] Mau tidak mau para martir merasaskan perlawanan yang keras dan penderitaan seperti yang dialami oleh Yesus. Mereka menjadi inspirasi bagi jemaat Kristus yang lainnya dalam memaknai salib. Pada zaman Yesus Kristus Romawi merupakan budaya yang dominan dan secara rutin menggunakan penyaliban sebagai metode utama hukuman mati.[31] Penyaliban merupakan suatu cara mati yang sedemikian hina sehingga tidak pernah dipakai oleh orang Yahudi. Salib dianggap sebagai sebuah simbol perlawanan mereka terhadap orang Roma.[32] Namun, dalam Perjanjian Baru, kematian Yesus di atas salib tidak dilihat sebagai suatu kutukan, sebaliknya hal itu diinterpretasikan oleh Paulus dan orang-orang lain sebagai suatu “kurban”, suatu cara mendamaikan Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa.[33] Hal ini pun dialami oleh para martir. Mereka mati bukan karena dikutuk, melainkan mereka telah mati sebagai seorang pembaru yang memberikan terang Kristus di dunia dengan pengorbanannya.

  1. Martir dan HAM
Bila ditinjau secara lebih jauh, kemartiran juga bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Wacana tentang HAM adalah bagian dari wacana umum dalam aliran filsafat Pencerahan[34] yang mulai berkembang sekitar 350 tahun yang lalu dengan maksud mempersoalkan legitimasi setiap otoritas yang dalam sejarah manusia pernah dan sedang menuntut dan melaksanakan kekuasasan atas manusia lain.[35] Para martir pun tak luput dari diskriminasi otoritas para penguasa tersebut. Pembelaan hak atas mereka tidak pernah diindahkan. Setiap otoritas macam itu menindas dan mengecam serta menaniaya manusia lain, merampas harta miliknya atau malah memperbudak manusia sendiri, dan dengan demikian melanggar martabat manusia.[36] Dari segi stratifikasi sosial[37] sangat mungkin bagi para martir untuk tidak bias melawan terhadap para penganiaya yang selalu identik dengan penguasa. Mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk bertindak selain menerimanya. Hak mereka sebagai individu tidak diperhatikan.
Sudah pada abad pertengahan, individu dalam arti tertentu dipandang sebagai yang terpisah dari masyarakat.[38] Tetapi, hal ini lebih ditekankan pada kesejahteraan umum. Artinya, hak-hak individu juga harus berkaitan dengan kepentingan umum. Tidak adanya hak-hak subjektif yang tidak dapat dicabut tidak berarti bahwa penindasasn diperbolehkan. Hasrat akan hak-hak tetap dikaitkan dengan hasrat akan keadilan, keberlayakan seseorang untuk berintegrasi di tengah masyarakat.[39] Ada keprihatinan bahwa pergerakan para martir ditentang oleh para penguasa yang tidak ingin kepentingan-kepentingan mereka diusik. Para martir dianggap sebagai musuh utama yang mengganggu berlangsungnya kepentingan-kepentingan tersebut. Padahal, kepentingan-kepentingan itu tidak selalu memberikan kesejahteraan secara umum. Hak-hak asasi manusia sebagai suatu gaagasan revolusioner dipertalikan dengan paham tentang sebuah masyarakat yang memiliki status tunggal di mana kekuasaan para petinggi dan penguasa dibatasi di mana-mana oleh hak-hak semua orang yang berasal dari “status” mereka sebagai manusia.[40] Seharusnya, para penguasa melihat situasi di mana masyarakatnya memiliki kepentingan yang berbeda, karena dengan demikian tidak perlu terjadi pertumpahan darah akibat perbedaan pendapat antara penguasa dengan masyarakatnya. Di sinilah keberadaan para martir sangatlah penting guna membuka mata masyarakat akan kesewenang-wenangan para penguasa.
Pada hakikatnya, HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yakni hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar inilah selanjutnya lahir hak-hak asasi lainnya.[41] Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun berat risiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.[42] Pada umumnya, kematian sebagai martir terjadi pada abad-abad permulaan sampai akhir abad pertengahan karena dalam waktu tersebut HAM belum begitu diekspose, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada abad modern seperti saat ini. Tujuan HAM itu sendiri sesungguhnya untuk melindungi individu dari semua kekuatan koersif (baik Negara, masyarakat, massa, dan lainnya) yang mengancam.[43] Maka dari itu lahirlah Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris yang menurut para pakar merupakan permulaan lahirnya HAM. Magna Charta antara lain menyebutkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut[44] menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum.[45] Hal ini merupakan perkembangan yang positif karena dengan adanya HAM para penguasa cenderung berhati-hati atas pilihan sikap mengambil keputusan. Kematian para martir semakin diminimalisir, sekalipun masih ada, hal ini tidak diekspose dan kasusnya pun direkayasa sedemikian rupa sehingga terlihat tidak ada yang salah di dalamnya. Hal ini harus ditindaklanjuti  secara lebih jauh. Permainan di belakang layar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu harus secara gamblang ditelusuri lebih jauh. Banyak sekali orang-orang yang merasa dipinggirkan karena kebenaranya. Kesulitan yang kerap terjadi dikarenakan orang-orang yang merekayasa kasus-kasus tersebut merupakan orang-orang dominan yang berpengaruh dalam pemerintahan. Dengan bebas mereka menggunakan kekuasaannya untuk berbuat semena-mena terhadap orang-orang yang notabene berbeda kelas dengannya. Hal inipun dialami oleh para martir yang tidak bisa berbuat banyak kepada para penguasa. Mereka tertekan ketika menyatakan pendapatnya. Bukan penghargaan yang didapat, melainkan penyiksaan bahkan sampai pada kematian. Tetapi di balik itu, mereka mempunyai peran yang besar terhadap berjalannya realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.


  1. Martir dari Waktu ke Waktu
Sebuah kata tidak mungkin menjadi populer apabila tidak ada suatu peristiwa yang membuat kata itu akhirnya memiliki arti yang khas. Begitu pula dengan kata “martir”. Pada mulanya sebuatan kata “martir” digunakan untuk semua orang yang telah mengakui iman Kristen dalam situasi yang sulit.[46] Dalam masa penganiayaan pada abad ketiga, kata martir diperuntukkan bagi orang-orang yang bersedia untuk menumpahkan darahnya sebagai kesaksian demi iman kepada Kristus.[47] Orang yang melakukan tindakan seperti itu semata-mata tidak hanya menjadi saksi mata saja, melainkan sebagai persembahan diri kepada Kristus agar nama Kristus dikenal dan dipermuliakan.
Di dalam Gereja, orang pertama yang mati sebagai martir adalah Stefanus. Pada kitab Kisah Para Rasul 7:54-8:14 diceritakan bahwa dengan ketulusan hati Steganus telah menyerahkan nyawanya demi Tuhan. Ia telah mati karena mewartakan Injil Tuhan dengan konsekuensi mati dirajam[48] secara mengenaskan. Meskipun demikian, Stefanus tetap memiliki hati yang murni untuk memberikan maaf kepada orang-orang yang telah membunuhnya. Hal ini juga dilakukan oleh Yesus kepada para prajurit Roma. Tampaklah di sini bahwa Yesus menjadi sumber inspirasi baginya dalam bertindak dan dalam kerangka mewartakan Kerajaan Allah di dunia.
Martir sebagai sebuah gelar sudah banyak melekat pada orang-orang yang tersebar di berbagai belahan dunia. Menjadi martir secara tidak langsung telah mengangkat nama mereka ke dalam sebuah pengalaman internal dengan Tuhan. Dalam perkembangannya martir tidak hanya digunakan dalam tradisi Gereja saja, tetapi sudah universal. Artinya, pandangan martir tidak melulu identik dengan Gereja, hanya saja namanya yang berbeda. Dalam Islam misalnya, seorang yang telah mati sebagai martir disebut dengan mati syahid.
Sudah kurang lebih 2000 tahun setelah kematian Yesus Kristus, banyak martir telah mewarnai belantika dunia. Namun, banyak di antara mereka yang hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Hal ini dikarenakan oleh kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Kematian para martir dijadikan sebagai “sarung bantal” yang digunakan untuk menutupi segala kepentingan tersebut. Namun, kematian para martir tersebut tidaklah sia-sia. Mereka tetap sebagai seorang saksi yang sungguh-sungguh menghayati sebuah pengorbanan.
Para martir telah memperlihatkan bahwa hidup di dunia bukanlah segala-galanya yang harus diperjuangkan. Cinta yang murni adalah ketika ia berani untuk mengorbankan nyawanya, yang berani untuk berbagi agar yang lain bahagia. Bukan hanya sahabat, namun juga musuh sekalipun. Dengan kematiannya, para martir telah memberikan kesaksian yang begitu mendalam mengenai cinta Tuhan. Mereka menjadi tangan Tuhan di dunia ini yang mau mengantar manusia kembali kepada yang Transenden. Para martir ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak hanya dirasakan dengan hidup yang serba berkecukupan, namun dengan sebuah pengorbanan yang berarti bagi orang lain.  


[4] Ensiklopedi Gereja halaman 201
[5] www.Gamki.Wordpress.com
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia (100) Depdiknas.1998.Jakarta
[7] Ensiklopedi Gereja Hal. 201
[8] www.exclassics.com
[9] Kata-Nya: “Waktunya telah genap;Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalan kepada Injil.”
[10] Keene, Michael.2007.Yesus.Yogyakarta:Kanisius. Hal 82
[11] Ibid. hal 110
[12] Ibid. Hal 11
[13] Dan ketika Anak Domba itu membuka materai yang kelima, aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki.
[15] Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. (Roma 6:11)
[16] Ensiklopedi (79) jilid 2
[17] Antonelli, Gabriel.2006. Mengikuti Dia dalam sengsara-Nya. Malang: Dioma. Hal 15
[18] Keene, Michael. 2007. Yesus.Yogyakarta:Kanisius. Hal 101
[19] Darminta, J. 1994. Nabi dan Martir bersama Yesus. Yogyakarta:Kanisius. Hal 18
[20] Ibid. Hal 19
[21] Sindhunata, SJ. 2006. Kambing Hitam. Jakarta:Gramedia. Hal 75
[22] Ibid. Hal 98-99
[23] Ibid. Hal 99
[24] Ibid. Hal 99
[25] Ibid. Hal 261
[26] Ibid. Hal 262
[27] Nabi Darminta, J. 1994. Nabi dan Martir bersama Yesus. Yogyakarta:Kanisius. Hal 36
[28] Sindhunata, SJ. 2006. Kambing Hitam. Jakarta:Gramedia. Hal 262
[29] Ibid.
[30] Darminta, J. 1994. Nabi dan Martir bersama Yesus. Yogyakarta:Kanisius. Hal 56
[31] Marinella, Mark. 2009. Yesus yang disalib bagiku. Yogyakarta: Andi. Hal 24
[32] Keene, Michael. 2007. Yesus.Yogyakarta:Kanisius. Hal 125
[33] Ibid.
[34] Filsafat Pencerahan berasumsi bahwa setiap manusia, berdasarkan kemanusiannya, berakar dan mampu menggunakan akal untuk yang baik bilamana ia memperoleh pendidikan yang baik
[35] Gereja dan Penegakan ham hal 33
[36] Ibid. Hal 33
[38] Hak-Hak Asasi Manusia Hal 121
[39] Ibid. Hal 121
[40] Ibid. Hal 143
[41] Gereja dan Ham  Hal 81
[43] Gereja dan ham Hal 82
[44] Raja yang menciptakan hokum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum
[45] Gereja dan penegakan Hal 82
[46] Ensiklopedi Gereja (201)
[47] Ibid (201)
[48] Adat Yahudi untuk orang yang dihukum mati. Dibunuh dengan cara dilempari batu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar