Selasa, 20 September 2011

Bagor[1] Kehidupan - Refleksi tentang seorang yang dijadikan Pemulung Manusia

Pagi itu, suara air sungai mengalir begitu pekat untuk didengar. Suara kokok ayam pun sahut-menyahut dengan azan subuh yang berkumandang di masjid, berlomba-lomba untuk minta didengarkan. Matahari belumlah terbit, namun aktivitas di perumahan elite kota Yogyakarta telah menunjukkan tanda-tandanya.
“Alhamdullilah,” ucap Pak Indra dan Bu Siti bersamaan, mensyukuri rahmat Sang Pencipta untuk hari yang baru. Selang beberapa waktu, aku baru bangun dari tidur. Aku terlelap dengan pulas karena memang aku tak terbiasa hidup di perumahan elite seperti itu. Masa laluku hanyalah berisikan hal-hal yang sederhana dan tidak berarti. Aku biasa tidur beralaskan kardus di rumah semi permanen, tidak seperti sekarang yang kurasakan. Aku tinggal di rumah super besar dengan springbed yang empuk bersama dengan Pak Indra dan Bu Siti.
“Apa sudah siap?” tanya Pak Indra. “Siap,pak!” jawabku bersemangat. Setelah sehari aku tinggal di perumahan itu, aku menjadi seorang yang beruntung. Tiap pagi aku harus mengikuti Pak Indra untuk berbagi harta dengan orang-orang di sekitar kami. Bagor sudah siap dipunggungku dan kami pun berangkat. Di setiap persimpangan jalan, aku bisa melihat suasana kota yang remuk seperti habis perang. Kota Yogyakarta luluh lantah. Rumah-rumah hanya beratapkan kardus bekas yang tersisa. Kendaraan di kota sangat sedikit, mungkin hancur ditembak nuklir. Sebagai orang “kaya baru” aku melewati sudut-sudut kota itu dengan elegan. Setiap melihat tempat sampah, mataku langsung terperangah dan langsung kubuang benda-benda yang ada di dalam bagor yang aku bawa.
Dua jam berlalu dan ternyata semua barang dalam bagor sudah habis. Setelah itu kami pun beristirahat. Lemon Juice telah menanti kami di rumah. Para pelayan di rumah sibuk menyiapkan segala masakan yang hendak kusantap. Menu pagi itu adalah spagheti lengkap dengan sausnya, ditambah buah-buahan sebagai hidangan penutup.
Siang harinya, aku dan Pak Indra pergi ke brangkas untuk mengumpulkan barang-barang yang hendak kubuang kemudian. Bila malam tiba, aku bermain dengan anak-anak yang lucu dan berpendidikan. Mereka semua sopan karena memang dididik dalam keluarga yang serba berkecukupan. Kututup hari ini dengan sebuah doa kepada Sang Pencipta Agung.
***
Segala sesuatunya telah terjadi. Namun semua itu hanyalah angan-anganku belaka. Yang terjadi sesungguhnya adalah kebalikan dengan ilustrasi di atas. Tanggal 7 Oktober 2010 aku menerima sebuah Surat Keputusan (SK) yang berisi bahwa aku harus menjalani live-in sebagai seorang pemulung di kota Yogyakarta. Bersama kedua teman lain, yaitu Adventa dan Juhas, aku melakukan persiapan atas SK tersebut, seperti mempersiapkan matras sebagai tempat tidur, membaca buku-buku tentang kemiskinan maupun membaca majalah mengenai perkampungan sosial Pingit Yogyakarta. Aku senang diutus untuk menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Tidak terbayangkan apa yang akan aku rasakan selama menjadi pemulung. Sejauh ini, aku hanya mendalami teori-teori tentang realita ketidakadilan di Indonesia. Lewat kasus-kasus pelanggaran HAM aku bisa melihat realita yang terjadi di masyarakat, namun hanya sebatas melihatnya saja tanpa bisa merasakannya. Dengan adanya Live-in ini aku akan merasakan sendiri bagaimana situasi ketidakadilan yang selama ini aku perjuangkan, tidak hanya diawang-awang saja. Ketika aku mempelajari ketidakadilan, aku seperti mengumpulkan tulang–belulang menjadi sebuah rangka tubuh manusia. Kesempatan live-in ini adalah sebuah sarana bagiku untuk memperoleh dagingnya sehingga apa yang aku perjuangkan bisa menjadi utuh dengan tulang beserta dagingnya.
Dengan dibekali berkat Israel dari Romo Agam, akhirnya pada tanggal 19 Oktober 2010 aku berangkat live-in dari Seminari menuju perkampungan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) Pingit Yogyakarta. Sebelumnya aku singgah dahulu di Kolese St. Ignatius (Kolsani) untuk bertemu dengan Fr. Benny, SJ dan kemudian berangkat ke kampung YSS Pingit. Selama perjalanan pikiranku sudah bercampur aduk, antara senang karena bisa merasakan realita masyarakat kelas bawah dengan perasaan takut untuk total dalam live-in ini. Bayangan akan kehidupan sebagai seorang pemulung merasuk ke dalam pikiranku, bagaimana nanti aku di sana? Apakah aku bisa makan? Apakah aku bisa tidur dengan nyenyak? dan pertanyaan-pertanyaan lain sebagainya. Untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu aku hanya berusaha berpikiran positif atas apa yang akan aku alami, bahwa Tuhan punya rencana di balik ini semua. Fr. Benny sedikit banyak telah menceritakan kehidupan masyarakat di sana sehingga aku mempunyai gambaran tentang kampung sosial pingit.
Akhirnya tiba juga aku di perkampungan sosial Pingit Yogyakarta, di belakang Universitas Janabadra. Aku senang karena tempatnya tidak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Kampung itu tampak bersih dan dirawat, tidak seperti kampung-kampung kumuh lainnya. Di sana aku berkenalan dengan keluarga Bpk. Indra, keluarga yang akan mendampingiku menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Aku senang karena Bpk. Indra dan Ibu Siti, istrinya adalah orang yang baik dan mau menerima kami dengan terbuka.
Di perkampungan inilah aku mencoba untuk berani melepas segala ketakutanku. Mulanya dengan bermain bersama dengan anak-anak di sini. Aku menikmati segala permainan anak-anak. Mereka tampak sangat terbuka denganku dan mau menerimaku untuk masuk ke dalam lingkungannya. Sebelumnya, aku adalah seorang yang sungkan untuk berelasi dengan orang lain, apalagi anak-anak. Namun, melihat keceriaan mereka, aku pun ikut bergabung dan mau terlibat. Aku ingin meninggalkan wilayah nyamanku untuk masuk ke dalam wilayah berani yang Tuhan tawarkan padaku, yaitu kehidupan masyarakat kampung sosial Pingit.
***
Di sudut kota Jogja, di sebuah rumah semi-permanen aku tinggal. Hanya suara alunan gamelan dan hentakan suara dalang dari sebuah radio kecil yang terdengar di pagi hari bersamaan dengan suara azan berkumandang, menceritakan kisah pewayangan Baratayudha maupun kisah-kisah pewayangan lainnya. Radio inilah yang menjadi teman keluarga Pak Indra dan aku setiap harinya untuk menghabisi pagi sebelum listrik dipadamkan tepat jam tujuh pagi.
Setiap hari aku harus bekerja sebagai seorang pemulung. Kota Jogja dengan segala keramaiannya menjadi pemandangan sehari-hari. Rumah-rumah dan gedung-gedung bertingkat beserta dengan kendaraan-kendaraan elite melintas di setiap gerak mataku. Di setiap tempat-tempat sampah aku berhenti sejenak untuk melihat apakah ada barang yang bisa aku bawa untuk dijual kembali. Bagor adalah saksi sekaligus teman bagiku dalam bekerja sebagai seorang pemulung. Tidak ada rasa malu lagi karena memang aku ingin menghidupi semangat perutusan ini. Jalan-jalan protokol maupun gang-gang sempit siap aku lewati. Dari pasar,toko, hingga sekolah menjadi tempat yang selalu aku datangi untuk mencari sebuah kehidupan.
Ketika aku menggendong bagor, ketika itu pula aku merasakan betapa kerasnya menjalani hidup sebagai seorang yang berada di dalam level masyakarat paling bawah, namun pada saat yang sama aku merasa menjadi orang yang paling kaya di dunia. Pada saat aku mengambil sebuah botol bekas yang berada di tempat sampah, aku bisa bersyukur atas rahmat Tuhan lewat botol itu. Bila dibandingkan dengan segudang perhiasan milik para pejabat, botol itulah yang lebih bernilai harganya karena di sana ada rasa syukur sedangkan bagi orang-orang kaya, segudang perhiasan itu tidak ada harganya karena mereka ingin lebih dan lebih dan tidak mau bersyukur atas apa yang telah diterima. Botol bekas mengalahkan segudang perhiasan karena ada nilai yang tidak bisa dibeli dengan apapun, yakni rasa syukur.
Dalam menjalani hidup sebagai seorang pemulung, aku pun menjumpai hambatan-hambatan yang menghalangiku bekerja. Pengalaman diasingkan dan dipandang sebelah mata menjadi bumbu setiap harinya, ditambah hasil yang didapat kurang memuaskan. Namun, aku mencoba untuk TOTAL dalam menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Pengalaman diasingkan oleh masyarakat menjadi prestasi tersendiri bagiku karena aku bisa belajar menjadi seperti Yesus yang diasingkan ketika menjalani perutusan-Nya di dunia. Aku bisa membayangkan betapa perihnya penderitaan Yesus saat itu, penderitaan yang jauh lebih berat dari pada penderitaan yang aku rasakan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan penderitaan tidak akan menuai penyesalan, melainkan sebuah rasa syukur akan prestasi yang didapat.
Tidak hanya di jalan aku menemui berbagai hambatan. Ketika kembali ke rumah di perkampungan sosial Pingit itulah aku kembali menemukan segala tantangan yang ada. Situasi latar belakang masyarakat di sana bisa dikatakan buruk. Untuk makan saja sulit apalagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Aku bisa merasakan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Tidak hanya orang-orang dewasa, anak-anak pun seperti tidak terurus oleh orangtua mereka sendiri. Astuti, Lintang, Sita, Dias, Andri, Teguh, dan yang lainnya menjadi malaikat-malaikat kecilku di sana. Meskipun bisa dibilang anak super nakal tetapi aku bisa melihat kerinduan dalam diri mereka; kerinduan untuk dihargai, untuk merasa dicintai, dan kerinduan untuk hidup normal seperti anak-anak lainnya yang bersekolah.
Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan karena memang meskipun aku berada di dalam sebuah keluarga yang berkecukupan namun aku pernah mengalami betapa menderitanya menjadi anak yang tidak dihargai. Segala sesuatu tentang aku hanya dipandang sebelah mata oleh keduaorangtuaku. Mereka hanya membandingkanku dengan kakakku dan segala kelebihannya sebagai anak yang ideal. Melihat anak-anak di perkampungan sosial ini membuat hatiku bergetar dan bisa meraskan keinginan hati mereka yang terdalam. Aku hampir menangis ketika dengan segala kekurangannya mereka dapat memberikan sedikit yang mereka punya untukku. Meskipun hanya segelas teh panas dan permen coklat, aku bisa merasakan ketulusan yang mereka punya. Itulah teh panas yang paling enak yang pernah aku minum dan permen coklat yang paling manis yang pernah aku makan.
Dalam berelasi dengan anak-anak itu, aku mencoba untuk sabar. Sulit memang menghadapi anak-anak dengan latar belakang yang buruk, namun aku tetap berusaha untuk memahami mereka seutuhnya, bukankah dulu aku pun ingin dimengerti dan ingin dicintai? Maka aku pun mencoba melakukannya, entah lewat permainan maupun dengan mengajarkan mereka berbagai pelajaran, dari matematika hingga bahasa Inggris maupun pelajaran-pelajaran lainnya.
Kesulitan-kesulitan pun sering aku jumpai, misalnya saja betapa sulit bagiku untuk makan karena apabila ingin makan pasti diikuti oleh anak-anak itu. Rasa jengkel pun muncul, namun aku tak tega untuk membentak dan mengusir mereka. Aku pun tidak tega untuk makan di depan mereka yang notabene untuk makan saja mereka sulit. Ada lagi cerita tentang bagaimana anak-anak begitu liarnya apabila berbicara denganku. Kata-kata kasar sering aku terima. Sebagai seorang remaja normal aku pun sering emosi menghadapi mereka, namun kesulitan-kesulitan semacam inilah yang menjadi tantangan bagiku di sana, belum lagi kesulitan menjalin relasi dengan keluarga-keluarga di kampung sosial Pingit. Kehidupan mereka yang keras menjurus pada pilihan sikap mental yang keras pula. Untuk menyapaku saja jarang apalagi mengajak ngobrol. Namun aku tidak menyerah. Setiap kali berpapasan aku pasti menyapa dan bila ada kesempatan aku ajak ngobrol mereka.
Pengalaman live-in mendorong hatiku untuk terbuka dengan masa lalu. Aku adalah pribadi yang kurang matang karena aku sering lari dari kenyataan dan tidak berani untuk menghadapinya secara langsung. Tetapi Pengalaman menjadi seorang pemulung di Jogja menjadi kesempatan bagiku untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting. Aku tidak mungkin bisa lari dari kenyataan bahwa aku seorang pemulung dan hidup di daerah perkampungan yang mempunyai latar belakang yang buruk. Kemiskinan bukanlah sebuah pilihan yang mereka ambil, namun sebuah kenyataan yang harus diterima dan diperjuangkan selalu. Dari mereka aku belajar untuk menghadapi sebuah realita secara langsung, bukannya lari dan menghindar. Tetapi ketika aku berani untuk menghadapi realita tersebut aku justru mendapatkan keinginan untuk berjuang melewatinya. Di sanalah aku belajar untuk tahan banting terhadap situasi yang kurang menguntungkan. Ketika aku menggendong bagor dan ketika butiran keringat menetes dari setiap pori tubuhku, di sanalah aku bisa menemukan Tuhan yang mengajakku untuk menjadi pribadi berkualitas.
Suatu kerinduanku adalah berdamai dengan diriku sendiri. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang membuatku tidak suka dengan diriku sendiri. Betapa aku merasa sebagai pribadi yang tidak beruntung dan selalu menerima kenyataan pahit, misalnya saja ketika aku harus hidup dengan latar belakang yang kurang diperhatikan. Pengalaman live-in ini juga membuka mata hatiku bahwa aku bukanlah orang satu-satunya yang harus menerima kenyataan-kenyataan pahit yang harus diterima. Orang-orang di perkampungan sosial Pingit menjadi bukti konkrit bahwa aku bukanlah orang yang buruk. Lewat pengalaman live-in ini aku bisa bersyukur atas segala sesuatu yang pernah aku dapatkan sekalipun itu harus menyakitkan hatiku sendiri. Masih banyak orang yang jauh  lebih menderita, namun mereka berani berjuang dan tidak mengeluh. Justru dari mereka aku belajar untuk semakin terbuka dengan rahmat Tuhan. Penderitaan bagaikan hadiah yang ditawarkan oleh Tuhan. Awalnya memang buruk, namun ternyata di balik itu Tuhan menyiapkan rahmat yang besar bagi orang yang berani menerimanya.
Menjadi seorang pemulung di Jogja adalah sebuah rahmat bagiku untuk melihat betapa Tuhan sangat mencintaiku. Aku tumbuh sebagai seorang pendosa, tetapi Tuhan tetap saja memberi jalan agar aku bisa melihat sebuah harapan dan rencana besar di belakangnya. Pengalaman berinteraksi dengan masyarakat kelas bawah membuat hatiku tergerak untuk berbuat sesuatu. Keinginan untuk memperjuangkan keadilan sudah tumbuh sejak aku masih kecil. Pengalamanku dinomorduakan oleh orangtua menggerakkanku untuk membela keadilan. Dengan melihat realita sosial yang begitu memprihatinkan di masyarakat kelas bawah, hatiku semakin terdorong untuk membela mereka yang tertindas.
Kenyataan hidup yang sulit bukanlah pilihan mereka. Membuat mereka menjadi masyarakat yang berkecukupan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Aku mengakui keterbatasanku sebagai seorang remaja yang juga sulit merubah realita yang ada. Namun ada satu kata yang mungkin bisa memberi arti bagi mereka, yakni terlibat. Dengan terlibat aku bisa senasib dan sepenganggungan dengan mereka. Dengan terlibat aku bisa solider dan sungguh-sungguh merasakan realita yang sama dengan realita yang mereka alami. Mungkin aku tidak bisa memberi sumbangan berupa material, namun dengan kehadiranku aku bisa setidaknya meringankan hati mereka untuk menyadari bahwa mereka tidak sendiri menjalani hidup yang serba sulit.
Aku bersyukur pada Tuhan atas pengalaman live-in menjadi seorang pemulung. Lewat pengalaman ini aku bisa belajar banyak mengenai makna-makna kehidupan yang selama ini belum aku ketahui. Dari sanalah jiwaku terpanggil untuk melayani sesama yang miskin dan menderita. Aku bisa melihat wajah Tuhan dalam setiap orang yang aku jumpai. Di dalam kemiskinan aku dapat menemukan kekayaan, mutiara yang tak ternilai harganya bahwa Tuhan akan selalu menyertai setiap langkah umat-Nya yang berserah setia kepada-Nya. Lewat bagor yang kupanggul setiap hari, Engkau memanggilku untuk menjadi seorang pemulung manusia. Karsa Dalem Kalampahana.

Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya
 (1 Petrus 2: 21)
30 Oktober 2010
Ketika air mata menghujani Ibu Pertiwi
Ignatius Fajar Santoso
- Ad Maiorem Dei Gloriam -


[1] Sebutan untuk Karung yang digunakan oleh pemulung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar