Rabu, 02 November 2011

RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Pada dasarnya setiap manusia selalu ingin mencari asal usulnya. Menurut pandangan agama-agama di dunia, manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Sang Transensen. Kodrat substansial manusia adalah laki-laki dan perempuan. Banyak orang di dunia menghabiskan waktu hidupnya untuk menelusuri lebih jauh hakikat laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan akan laki-laki dan perempuan memiliki komparasi dengan salah satu kebijaksanaan kuno untuk menjawabnya. Kebijaksaan tersebut mengatakan, “Ada dua hal yang bisa dilakukan terhadap sebuah pertanyaan. Yang pertama adalah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Yang kedua adalah memberikan kemungkinan rumusan pertanyaan yang lebih baik.
Menurut Yohanes Paulus II, usaha untuk memahami kembali arti dasar manusia kita dapat melihatnya dalam pengalaman asali manusia pada titik awal penciptaan. Ada tiga pengalaman asli manusia: kesendirian asali (original solitude), kebersatuan asali (original unity), dan ketelanjangan asali (original nakedness).[1]
Banyak pakar mencoba merumuskan jawaban  hakikat awal laki-laki dan perempuan. Kitab suci mengatakan bahwa laki-laki pertama adalah Adam dan perempuan pertama adalah Hawa. Hal ini belum pasti karena Kitab Suci merupakan refleksi teologis yang menghubungkan relasi antara manusia dengan yang Transenden. Ada pakar lain seperti Darwin yang mengatakan bahwa manusia adalah hasi evolusi kera.
Pengertian akan awal keberadaan manusia adalah sebuah relativitas yang tidak tentu menemukan jawaban yang tepat. Akan lebih tepat bila sebagai manusia kita memaknai hal tersebut sebagai sebuah proses yang terus berjalan serta mempercayai refleksi-refleksi teologis mengingat kita adalah manusia yang memiliki kepercayaan pada yang Transenden.
Tidak akan ada habisnya bila kita mencari jawaban akan pertanyaan substansial awal keberadaan manusia karena teori-teori yang muncul hanya menimbulkan kebingungan di antara kita. Namun, kita bisa memunculkan pertanyaan lain yang lebih memiliki korelasi yang esensial dengan keseharian kita sebagai sebuah insan. Pertanyaan lain yang muncul setelahnya adalah hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Hal ini bisa ditinjau dari segi perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah relasi interpersonal. Menurut McGraw-Hill dalam bukunya Communication works, relasi interpersonal adalah sebuah hubungan diadik (pasangan) antar personal atau individu. Ketika kita membagikan relasi interpersonal dengan orang lain, kita menjadi memiliki rasa saling ketergantungan satu sama lain. Di lain waktu kita menjalin hubungan secara alami, seperti pertemanan selama kita berinteraksi dengan orang lain dengan membagikan pengalaman yang kita miliki dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya.[2]
Fungsi akan adanya relasi adalah adanya tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yakni inclusion, control, dan affection. Inclusion adalah segala sesuatu yang kita butuhkan untuk berkomunikasi secara sosial. Inclusion menggambarkan adalah cara kita untuk membangun relasi supaya orang lain memahami keberadaan kita tetapi dengan tetap menjaga jarak.[3]
Control adalah sebuah kebutuhan yang bertujuan agar kita mampu,peka dan terampil dalam mengeluarkan kekuatan kita untuk mempengaruhi relasi atau hubungan kita. Affection sendiri memiliki arti sebuah kebutuhan untuk member dan menerima aspek-aspek emosi secara lebih dekat.[4]
Dengan adanya teori di atas kita dapat memaparkan hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan. Relasi tersebut memiliki sikap saling ketergantungan satu sama lain sehingga kita dapat memiliki paradigma bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan untuk saling melengkapi. Hal ini dapat kita tinjau dengan logika bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Budaya patriarkal yang memang sudah mendarah daging di beberapa bagian dunia bahkan hampir meliputi seluruh dunia membawa kita pada sebuah pandangan bahwa laki-laki itu berkuasa, termasuk terhadap perempuan. Namun patut disayangkan bahwa pemahaman akan budaya tersebut hanya dibatasi pada hal-hal yang cenderung negatif. Padalah budaya patriarkal hanyalah buatan manusia itu sendiri, bukan sebuah kodrat yang menegaskan bahwa memang laki-laki berkuasa terhadap perempuan.
Refleksi akan peran laki-laki dan perempuan dalam hubungan relasinya adalah pada hakikat psiko-somatik yang berarti kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan. Hakikat psiko-somatik penting ditegaskan karena bertujuan untuk menghindar dari paham dualisme.[5] Laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah satu kesatuan sekaligus pemisahan. Jiwa dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan namun manusia itu sendiri “dipisahkan” antara laki-laki dan perempuan yang memiliki jiwa dan tubuh berbeda.
Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan relasi antara laki-laki dan manusia menuju pada persamaan gender. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peran perempuan yang mulai mengambil alih peran laki-laki, misalnya dengan adanya polisi perempuan, sopir busway perempuan, dan presiden perempuan.
Relasi antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi inclusion, control, dan affection. Meskipun memiliki kebutuhan untuk saling melengkapi, laki-laki dan perempuan tetap menjaga jarak satu sama lain dan memiliki kontrol akan hubungan itu sendiri. Relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah sarana untuk memenuhi kebutuhan afeksi masing-masing.
Komunikasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan jelas memiliki perbedaan dengan komunikasi laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Hal yang mendasarinya adalah kebutuhan psikologis yang cenderung membawa manusia pada sisi afeksi. Manusia akan terpenuhi kebutuhan emosi afeksinya ketika menjalin hubungan dengan beda jenis kecuali individu tersebut memiliki sebuah pandangan yang berbeda, dengan kata lain memiliki kelainan.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Relasi ini bersifat dinamis mengingat proses yang berlangsung di dalamnya terbentur dengan relasi yang lainnya pula, seperti relasi manusia dengan alam, relasi manusia dengan yang Transenden dan relasi lainnya. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan memiliki daya pikat yang membuat sisi psikologis manusia terpenuhi kebutuhannya. Kembali pada awalnya bahwa laki-laki dan perempuan adalah kodrat manusia. Budaya, keyakinan, adat, dan lain-lain adalah buatan manusia sendiri untuk membangun nilai dan norma yang terjalin di antara mereka.



[1] Ramadhani,SJ, Deshi. 2010.Adam Harus Bicara.Yogyakarta:Kanisius, hal 50
[2] Gamble, Michael. 2005.Communication works.New York:Mc-Graw-Hill, hal 233
[3] Ibid, hal 234
[4] Ibid, hal 235
[5] Ramadhani,SJ, Deshi. 2009.Lihatlah Tubuhku.Yogyakarta:Kanisius, hal 116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar