Pada dasarnya setiap manusia selalu
ingin mencari asal usulnya. Menurut pandangan agama-agama di dunia, manusia
diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Sang Transensen. Kodrat substansial
manusia adalah laki-laki dan perempuan. Banyak orang di dunia menghabiskan
waktu hidupnya untuk menelusuri lebih jauh hakikat laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan
akan laki-laki dan perempuan memiliki komparasi dengan salah satu kebijaksanaan
kuno untuk menjawabnya. Kebijaksaan tersebut mengatakan, “Ada dua hal yang bisa
dilakukan terhadap sebuah pertanyaan. Yang pertama adalah memberikan jawaban
terhadap pertanyaan itu. Yang kedua adalah memberikan kemungkinan rumusan
pertanyaan yang lebih baik.
Menurut
Yohanes Paulus II, usaha untuk memahami kembali arti dasar manusia kita dapat
melihatnya dalam pengalaman asali manusia pada titik awal penciptaan. Ada tiga
pengalaman asli manusia: kesendirian asali (original
solitude), kebersatuan asali (original
unity), dan ketelanjangan asali (original
nakedness).[1]
Banyak
pakar mencoba merumuskan jawaban hakikat
awal laki-laki dan perempuan. Kitab suci mengatakan bahwa laki-laki pertama
adalah Adam dan perempuan pertama adalah Hawa. Hal ini belum pasti karena Kitab
Suci merupakan refleksi teologis yang menghubungkan relasi antara manusia
dengan yang Transenden. Ada pakar lain seperti Darwin yang mengatakan bahwa
manusia adalah hasi evolusi kera.
Pengertian
akan awal keberadaan manusia adalah sebuah relativitas yang tidak tentu
menemukan jawaban yang tepat. Akan lebih tepat bila sebagai manusia kita
memaknai hal tersebut sebagai sebuah proses yang terus berjalan serta
mempercayai refleksi-refleksi teologis mengingat kita adalah manusia yang memiliki
kepercayaan pada yang Transenden.
Tidak
akan ada habisnya bila kita mencari jawaban akan pertanyaan substansial awal
keberadaan manusia karena teori-teori yang muncul hanya menimbulkan kebingungan
di antara kita. Namun, kita bisa memunculkan pertanyaan lain yang lebih
memiliki korelasi yang esensial dengan keseharian kita sebagai sebuah insan.
Pertanyaan lain yang muncul setelahnya adalah hubungan relasi antara laki-laki
dengan perempuan itu sendiri. Hal ini bisa ditinjau dari segi perbedaan gender
antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan
antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah relasi interpersonal. Menurut
McGraw-Hill dalam bukunya Communication
works, relasi interpersonal adalah sebuah hubungan diadik (pasangan) antar
personal atau individu. Ketika kita membagikan relasi interpersonal dengan
orang lain, kita menjadi memiliki rasa saling ketergantungan satu sama lain. Di
lain waktu kita menjalin hubungan secara alami, seperti pertemanan selama kita
berinteraksi dengan orang lain dengan membagikan pengalaman yang kita miliki
dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya.[2]
Fungsi
akan adanya relasi adalah adanya tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,
yakni inclusion, control, dan affection. Inclusion adalah segala
sesuatu yang kita butuhkan untuk berkomunikasi secara sosial. Inclusion menggambarkan adalah cara kita
untuk membangun relasi supaya orang lain memahami keberadaan kita tetapi dengan
tetap menjaga jarak.[3]
Control
adalah sebuah kebutuhan yang bertujuan agar kita mampu,peka dan terampil dalam
mengeluarkan kekuatan kita untuk mempengaruhi relasi atau hubungan kita. Affection sendiri memiliki arti sebuah
kebutuhan untuk member dan menerima aspek-aspek emosi secara lebih dekat.[4]
Dengan
adanya teori di atas kita dapat memaparkan hubungan relasi antara laki-laki
dengan perempuan. Relasi tersebut memiliki sikap saling ketergantungan satu
sama lain sehingga kita dapat memiliki paradigma bahwa antara laki-laki dan
perempuan mempunyai kebutuhan untuk saling melengkapi. Hal ini dapat kita
tinjau dengan logika bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Budaya
patriarkal yang memang sudah mendarah daging di beberapa bagian dunia bahkan
hampir meliputi seluruh dunia membawa kita pada sebuah pandangan bahwa
laki-laki itu berkuasa, termasuk terhadap perempuan. Namun patut disayangkan
bahwa pemahaman akan budaya tersebut hanya dibatasi pada hal-hal yang cenderung
negatif. Padalah budaya patriarkal hanyalah buatan manusia itu sendiri, bukan
sebuah kodrat yang menegaskan bahwa memang laki-laki berkuasa terhadap
perempuan.
Refleksi
akan peran laki-laki dan perempuan dalam hubungan relasinya adalah pada hakikat
psiko-somatik yang berarti kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan.
Hakikat psiko-somatik penting ditegaskan karena bertujuan untuk menghindar dari
paham dualisme.[5]
Laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah satu kesatuan sekaligus pemisahan.
Jiwa dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan namun manusia itu sendiri
“dipisahkan” antara laki-laki dan perempuan yang memiliki jiwa dan tubuh
berbeda.
Seiring
dengan berjalannya waktu, hubungan relasi antara laki-laki dan manusia menuju
pada persamaan gender. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peran perempuan yang
mulai mengambil alih peran laki-laki, misalnya dengan adanya polisi perempuan,
sopir busway perempuan, dan presiden perempuan.
Relasi
antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi inclusion, control, dan
affection. Meskipun memiliki kebutuhan untuk saling melengkapi, laki-laki
dan perempuan tetap menjaga jarak satu sama lain dan memiliki kontrol akan
hubungan itu sendiri. Relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah
sarana untuk memenuhi kebutuhan afeksi masing-masing.
Komunikasi
yang terjalin antara laki-laki dan perempuan jelas memiliki perbedaan dengan
komunikasi laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Hal yang
mendasarinya adalah kebutuhan psikologis yang cenderung membawa manusia pada
sisi afeksi. Manusia akan terpenuhi kebutuhan emosi afeksinya ketika menjalin
hubungan dengan beda jenis kecuali individu tersebut memiliki sebuah pandangan
yang berbeda, dengan kata lain memiliki kelainan.
Dengan
demikian kita dapat menyimpulkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan
adalah sebuah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Relasi ini bersifat dinamis
mengingat proses yang berlangsung di dalamnya terbentur dengan relasi yang
lainnya pula, seperti relasi manusia dengan alam, relasi manusia dengan yang
Transenden dan relasi lainnya. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan
memiliki daya pikat yang membuat sisi psikologis manusia terpenuhi kebutuhannya.
Kembali pada awalnya bahwa laki-laki dan perempuan adalah kodrat manusia.
Budaya, keyakinan, adat, dan lain-lain adalah buatan manusia sendiri untuk
membangun nilai dan norma yang terjalin di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar