Senin, 28 November 2011

Cinta itu adalah kesatuan dari hati yang terdalam

Manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, namun hal itu tidaklah menutupinya untuk terus berbuat baik dari waktu ke waktu. Kelebihan dan kekurangan setiap orang boleh berbeda namun  manusia memiliki cinta yang sama satu sama lain karena manusia diciptakan untuk mencintai dan untuk menghargai kehidupan.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengolah cinta untuk menjadikannya sebuah harta tak ternilai dalam kehidupan. Banyak orang membentengi dirinya agar cinta itu tidak bertumbuh. Mereka hanya memikirkan bagaimana kebebasan dapat diperoleh tanpa memandang arti cinta yang sejati. Cinta mengalahkan kehendak untuk mementingkan diri. Cinta itu adalah kesatuan dari hati yang terdalam. Kejujuran akan cinta dapat menghadirkan harapan yang murni, yang akan membawa manusia pada sense of belonging terhadap kehidupan. Mari menjadi manusia yang memiliki cinta sebagai akar hidup sehingga menjadi garam dan terang bagi sekeliling kita. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Minggu, 27 November 2011

Masih Perlukah Hati Nurani - mu (?)

Kehidupan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan kehendak. Namun yang harus disadari adalah bagaimana kita bersikap terhadap realita yang terjadi. Hal-hal sederhana dapat kita tangkap maknanya sebagai sebuah pesan akan berharganya sebuah kehidupan. Namun tanpa disadari terkadang manusia justru hidup dalam pergulatan akan konsepsi dasarnya sebagai manusia itu sendiri. Ia sengaja membatasi kehidupan yang sebenarnya tidak perlu  karena kehidupan itu panjang tidak berujung.
Sebagai citra Allah sebenarnya setiap manusia memiliki daya kodrati dan adikodrati. Daya kodrati meliputi akal budi, hati nurani dan kehendak bebas, sedangkan daya adikodrati adalah daya dari luar tubuh manusia yang sering disebut sebagai daya ilahi. Yang sering menjadi keprihatinan adalah bagaimana manusia menyeimbangkan akal budi, hati nurani, kehendak bebas dan daya ilahi tersebut. Realita yang sering terjadi adalah manusia menutup dirinya seakan-akan tidak lagi memiliki hati nurani. Yang ditonjolkan adalah kehendak bebasnya padahal kehendak bebas di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab, "kebebasan untuk" bukan "kebebasan dari".
Sebagai seorang manusia beriman, hati nurani sangat penting untuk menyeimbangkan kondisi dasar kehidupan kita (termasuk akal budi, kehendak bebas dan daya ilahi). Hati nurani adalah bagian integral yang dimiliki setiap orang dan pada dasarnya hati nurani setiap manusia adalah baik adanya (Karena manusia citra Allah maka manusia pun memiliki substansi dasar seperti Allah yaitu baik). Namun yang sering terjadi adalah manusia lebih menentukan arah hidupnya pada hal-hal duniawi dan menutup mata akan semangat humanisme. Peperangan, teror bom, korupsi dan lain sebagainya adalah contoh realita manusia yang menutup hati nuraninya demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Perlu digarisbawahi hati nurani sangat perlu bagi kelangsungan hidup setiap manusia. Tanpa hati nurani manusia hanyalah seonggok daging tak bermakna. Yang membedakan manusia dengan hewan atau tumbuhan adalah hatu nurani itu sendiri (beserta daya kodrati lainnya). Marilah kita menjadi manusia yang memiliki hati nurani yang peka terhadap realita sosial yang terjadi di sekeliling kita. Semoga kita dapat menjadi garam dan terang di masyarakat. Senjata paling sakti adalah hati manusia yang dibakar oleh kekuatan kehendaknya.

Ad Maiorem Dei Gloriam

Kamis, 24 November 2011

Perubahan untuk Indonesia

Perubahan adalah sebuah substansi yang tetap. Segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri. Indonesia saat ini memiliki berbagai permasalah yang kompleks di segala bidang, yakni politik, ekonomi, dan sosial. Sebagai individu yang cinta pada bangsa sudah saatnya kita bergerak untuk mengadakan perubahan. Panji Pragiwaksono telah menggemborkan semangat berani untuk mengubah (#BeraniMengubah).
Perubahan memang sangat dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan di Indonesia yang lebih baik. Sistem pemerintahan yang cenderung korup adalah bagian dari hal yang harus dibenahi. Jika terus menerus keadaan berlangsung seperti saat ini maka tidak lama bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memprihatinkan padahal Indonesia adalah bangsa yang kaya akan segalanya, kecuali satu yaitu kesadaran akan keberadaan orang lain.
Banyak individu yang lupa akan realita kehidupan sosial yang membutuhkan sekali bantuan baik jasmani maupun rohani. Para petinggi negara seakan menutup mata padahal bangsa ini merupakan bangsa dengan kedaulatan rakyat dan NKRI sebagai bentuk negara.
Mari kita melihat lebih dalam situasi dan kondisi bangsa yang semakin lama memprihatinkan. Mulailah dari diri sendiri untuk merubah paradigma akan bangsa ini. Indonesia adalah negara dengan segala kekayaannya dengan potensi yang sangat tinggi. Mari kita berjuang untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Merdeka !!

Merdeka atau Mati

INDONESIA....
Sebuah negeri yang kaya segala-galanya, termasuk dengan sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki integritas kuat di kancah dunia. Pada era Soekarno bangsa Indonesia menjadi macan asia yang ditakuti hingga ke seluruh penjuru mata angin. Namun sekarang kenyataannya? Muncul pertanyaan besar dibalik situasi bangsa yang saat ini cenderung mengalami penurunan drastis dari segala aspek kehidupan di dalamnya, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.
Sebagai generasi penentu bangsa (bukan penerus. Apakah kita mau meneruskan situasi bangsa yang sekarang ini? *lih.konteks), kita dapat melihat bagaimana perjuangan para founding father yang telah berjuang membentuk negara ini berdasarkan ideologi Pancasila yang sangat besar maknanya.
"Merdeka atau Mati" sebuah ungkapan dari seorang Soekarno yang di dalamnya tersirat sebuah pesan akan pentingnya sebuah perjuangan yang total dari dalam diri sendiri. Kecenderungan masyarakat sekarang adalah adanya ketergantungan dari pihak asing untuk masuk ke dalam bangsa ini. Apakah kita mau negeri kita hanya dijadikan sebagai pasar karena kebiasaan kita untuk konsumtif terhadap segala jenis barang?
Sebagai bangsa besar sudah selayaknya kita menjadi bangsa yang mandiri dengan kemajuan yang begitu pesat. Masalahnya adalah sistem pemerintahan yang saat ini dimasuki oleh oknum-oknum tanpa nasionalisme yang sejati di mana para pejabat hanya mementingkan kantongnya sendiri tanpa memerhatikan kondisi rakyatnya.
Semoga ada tindakan konkret yang dilakukan oleh masyarakat secara umum dan pemuda secara khusus untuk memperjuangkan bangsa ini dengan semangat nasionalisme sejati seperti yang dimiliki oleh para pendiri bangsa ini. Salam saya selalu untuk setiap warga negara Indonesia. Mari kita pekikan bersama.. Merdeka atau Mati !!!!

API SENJA


Berteriak..
Meminta sebuah tanda bias tanpa kata
Kutanya mengapa
Jawabnya pedas menusuk dahaga
Membuang segala peluh hujan siang hari
Diam..
Melikuk di antara kabut rasa
Kucoba menatap dirinya penuh luka
Angin biru tak kuasa menahan belai dirinya
Sudah cukup
Aku terbuai dalam dinginnya api senja

Rabu, 02 November 2011

RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Pada dasarnya setiap manusia selalu ingin mencari asal usulnya. Menurut pandangan agama-agama di dunia, manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Sang Transensen. Kodrat substansial manusia adalah laki-laki dan perempuan. Banyak orang di dunia menghabiskan waktu hidupnya untuk menelusuri lebih jauh hakikat laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan akan laki-laki dan perempuan memiliki komparasi dengan salah satu kebijaksanaan kuno untuk menjawabnya. Kebijaksaan tersebut mengatakan, “Ada dua hal yang bisa dilakukan terhadap sebuah pertanyaan. Yang pertama adalah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Yang kedua adalah memberikan kemungkinan rumusan pertanyaan yang lebih baik.
Menurut Yohanes Paulus II, usaha untuk memahami kembali arti dasar manusia kita dapat melihatnya dalam pengalaman asali manusia pada titik awal penciptaan. Ada tiga pengalaman asli manusia: kesendirian asali (original solitude), kebersatuan asali (original unity), dan ketelanjangan asali (original nakedness).[1]
Banyak pakar mencoba merumuskan jawaban  hakikat awal laki-laki dan perempuan. Kitab suci mengatakan bahwa laki-laki pertama adalah Adam dan perempuan pertama adalah Hawa. Hal ini belum pasti karena Kitab Suci merupakan refleksi teologis yang menghubungkan relasi antara manusia dengan yang Transenden. Ada pakar lain seperti Darwin yang mengatakan bahwa manusia adalah hasi evolusi kera.
Pengertian akan awal keberadaan manusia adalah sebuah relativitas yang tidak tentu menemukan jawaban yang tepat. Akan lebih tepat bila sebagai manusia kita memaknai hal tersebut sebagai sebuah proses yang terus berjalan serta mempercayai refleksi-refleksi teologis mengingat kita adalah manusia yang memiliki kepercayaan pada yang Transenden.
Tidak akan ada habisnya bila kita mencari jawaban akan pertanyaan substansial awal keberadaan manusia karena teori-teori yang muncul hanya menimbulkan kebingungan di antara kita. Namun, kita bisa memunculkan pertanyaan lain yang lebih memiliki korelasi yang esensial dengan keseharian kita sebagai sebuah insan. Pertanyaan lain yang muncul setelahnya adalah hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Hal ini bisa ditinjau dari segi perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah relasi interpersonal. Menurut McGraw-Hill dalam bukunya Communication works, relasi interpersonal adalah sebuah hubungan diadik (pasangan) antar personal atau individu. Ketika kita membagikan relasi interpersonal dengan orang lain, kita menjadi memiliki rasa saling ketergantungan satu sama lain. Di lain waktu kita menjalin hubungan secara alami, seperti pertemanan selama kita berinteraksi dengan orang lain dengan membagikan pengalaman yang kita miliki dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya.[2]
Fungsi akan adanya relasi adalah adanya tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yakni inclusion, control, dan affection. Inclusion adalah segala sesuatu yang kita butuhkan untuk berkomunikasi secara sosial. Inclusion menggambarkan adalah cara kita untuk membangun relasi supaya orang lain memahami keberadaan kita tetapi dengan tetap menjaga jarak.[3]
Control adalah sebuah kebutuhan yang bertujuan agar kita mampu,peka dan terampil dalam mengeluarkan kekuatan kita untuk mempengaruhi relasi atau hubungan kita. Affection sendiri memiliki arti sebuah kebutuhan untuk member dan menerima aspek-aspek emosi secara lebih dekat.[4]
Dengan adanya teori di atas kita dapat memaparkan hubungan relasi antara laki-laki dengan perempuan. Relasi tersebut memiliki sikap saling ketergantungan satu sama lain sehingga kita dapat memiliki paradigma bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan untuk saling melengkapi. Hal ini dapat kita tinjau dengan logika bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Budaya patriarkal yang memang sudah mendarah daging di beberapa bagian dunia bahkan hampir meliputi seluruh dunia membawa kita pada sebuah pandangan bahwa laki-laki itu berkuasa, termasuk terhadap perempuan. Namun patut disayangkan bahwa pemahaman akan budaya tersebut hanya dibatasi pada hal-hal yang cenderung negatif. Padalah budaya patriarkal hanyalah buatan manusia itu sendiri, bukan sebuah kodrat yang menegaskan bahwa memang laki-laki berkuasa terhadap perempuan.
Refleksi akan peran laki-laki dan perempuan dalam hubungan relasinya adalah pada hakikat psiko-somatik yang berarti kesatuan jiwa dan tubuh manusia tetap dipertahankan. Hakikat psiko-somatik penting ditegaskan karena bertujuan untuk menghindar dari paham dualisme.[5] Laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah satu kesatuan sekaligus pemisahan. Jiwa dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan namun manusia itu sendiri “dipisahkan” antara laki-laki dan perempuan yang memiliki jiwa dan tubuh berbeda.
Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan relasi antara laki-laki dan manusia menuju pada persamaan gender. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peran perempuan yang mulai mengambil alih peran laki-laki, misalnya dengan adanya polisi perempuan, sopir busway perempuan, dan presiden perempuan.
Relasi antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi inclusion, control, dan affection. Meskipun memiliki kebutuhan untuk saling melengkapi, laki-laki dan perempuan tetap menjaga jarak satu sama lain dan memiliki kontrol akan hubungan itu sendiri. Relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah sarana untuk memenuhi kebutuhan afeksi masing-masing.
Komunikasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan jelas memiliki perbedaan dengan komunikasi laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Hal yang mendasarinya adalah kebutuhan psikologis yang cenderung membawa manusia pada sisi afeksi. Manusia akan terpenuhi kebutuhan emosi afeksinya ketika menjalin hubungan dengan beda jenis kecuali individu tersebut memiliki sebuah pandangan yang berbeda, dengan kata lain memiliki kelainan.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Relasi ini bersifat dinamis mengingat proses yang berlangsung di dalamnya terbentur dengan relasi yang lainnya pula, seperti relasi manusia dengan alam, relasi manusia dengan yang Transenden dan relasi lainnya. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan memiliki daya pikat yang membuat sisi psikologis manusia terpenuhi kebutuhannya. Kembali pada awalnya bahwa laki-laki dan perempuan adalah kodrat manusia. Budaya, keyakinan, adat, dan lain-lain adalah buatan manusia sendiri untuk membangun nilai dan norma yang terjalin di antara mereka.



[1] Ramadhani,SJ, Deshi. 2010.Adam Harus Bicara.Yogyakarta:Kanisius, hal 50
[2] Gamble, Michael. 2005.Communication works.New York:Mc-Graw-Hill, hal 233
[3] Ibid, hal 234
[4] Ibid, hal 235
[5] Ramadhani,SJ, Deshi. 2009.Lihatlah Tubuhku.Yogyakarta:Kanisius, hal 116

Selasa, 01 November 2011

PEMUDA : SATU UNTUK INDONESIA

Sebagai seorang pemuda tentunya kita tidak bisa diam melihat situasi pemerintahan saat ini yang cenderung lambat dalam mengatasi permasalahan negara yang ada. Butuh sebuah perubahan yang mendasar. Memang sulit ketika sebuah sistem telah rusak oleh berbagai masalah, dalam hal ini adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sedang dilanda berbagai macam krisis antara lain kasus-kasus korupsi yang berdampak pada krisis kepercayaan.
Dibutuhkan pemuda-pemuda Indonesia yang mau bergerak ke arah yang lebih maju untuk memberikan sebuah agere contra dengan apa yang sekarang dilakukan oleh pemerintah. Apakah kejadian tahun 1998 akan terulang kembali? Hanya masalah waktu yang akan menjawabnya.
Melihat realita "kebobrokan" pemerintahan saat ini, sudah saatnya slogan generasi penerus bangsa kita ubah menjadi GENERASI PENENTU BANGSA. Hal ini dimaksudkan agar sebagai pemuda kita tidak ingin menjadi penerus sistem yang sudah terlampau hancur oleh kepentingan-kepentingan sekelompok orang saja. Partai sebagai kendaraan demokrasi sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem harus segera dibenahi jika tidak ingin NKRI terpecah belah. Sudah banyak gerakan untuk keluar dari NKRI dan hal ini sangat memprihatinkan. Mari kita bersatu untuk INDONESIA tercinta. Jangan sampai negara yang sudah susah payah dibangun oleh para founding father musnah begitu saja.
satu untuk INDONESIA.

Antara Jubah dan Cinta


Antara Jubah dan Cinta
Ketika sang surya mengintip dalam peraduannya dan embun pagi masih terasa segar, di tepi pantai pasir putih, seorang lelaki paruh baya sedang asik menghisap rokoknya. Lamunannya melayang hingga melewati ruang dan waktu. Desiran ombak semakin membuatnya terbang tinggi menembus angannya yang tak kunjung tiba.
Bratasena duduk terdiam. Matanya menatap lurus ke arah matahari yang sebentar lagi meninggalkan pantai. Hidup memang tidak bisa diduga, segala yang terjadi tidak bisa diprediksi sebelumnya. Seperti pasir yang terdampar di tepi pantai, kehidupan juga memiliki makna yang tak dapat dihitung dengan tepat. Hukum relativisme ternyata memang mewarnai setiap lekuk kehidupan. Brata, seorang anak preman tak kuasa menahan tangis dalam sepinya. Semua yang terjadi dalam hidup ini bukan kebetulan, pikirnya.
“Brata, sedang apa kamu di sini?” tanya Pandu tiba-tiba. Brata segera menghapus air mata yang sempat terjatuh membasahi lekuk pipinya.
“Nggak, gak ada apa-apa kok,” jawab Brata berusaha menutupi apa yang sesungguhnya terjadi.
“Sudahlah, coba kamu ceritakan apa masalahmu. Tadi aku lihat kok kamu menangis,” kata Pandu kepada Brata melihat temannya seperti sedang berada dalam kesulitan.
“Begini Du, aku bingung mengapa orang seperti aku bisa-bisanya tertarik untuk menjadi seorang pastur. Padahal latar belakan kehidupanku seperti ini, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak baik. Kerjaku hanya mabuk-mabukan dan melakukan hal-hal lain yang hanya memuaskan nafsuku saja,” Brata mencoba menguraikan permasalahnya perlahan.
Menjadi seorang pastur memang bukan perkara biasa. Tradisi Katolik yang begitu baku mengharuskan seorang Pastur memiliki tiga kaul yakni kaul ketaatan, kemiskinan dan keperawanan. Jadi memang tidak masuk akal bila seorang Brata yang memiliki latar belakang yang buruk bisa memiliki rasa untuk menjadi seorang pastur.
Matahari sudah tidak lagi menampakkan sinarnya, namun Brata dan Pandu masih duduk di tepi pantai. Mereka bercakap-cakap satu sama lain.
“Pandu, bagaimana kalo aku masuk biara?” tanya Brata kepada Pandu yang sudah menjadi temannya dari kecil hingga saat ini.
“Kamu yakin Brat?”
“Sesuatu jika tidak dicoba sama saja sia-sia, Du.”
“Bukan begitu juga, keyakinan itu modal penting untuk melangkah lebih jauh ke depan.”
“Ya benar sih, tapi hati gak pernah salah Du. Aku ingin masuk biara untuk setidaknya mendengar suara hati niraniku sendiri.”
“Baiklah, coba kamu tanya dulu pada orangtuamu,” nasihat Pandu yang ternyata menjadi awal bagi Brata untuk melihat ke dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Brata.
Keheningan adalah keramaian abadi yang pernah ada. Ketika seorang hening, maka dengan itu ia akan berada dalam keramaian yang tak ada batasnya. Di sanalah kekayaan abadi berada, dalam keheningan. Brata pun perlahan menyadarinya. Ia sering berada dalam keheningan di tepi pantai. Rumahnya yang tidak jauh dari pantai itulah yang membuatnya memilih pantai menjadi tempat yang paling nyaman untuk berefleksi.
Kehidupan ini begitu kompleks. Dosa adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh tiap manusia. Brata sadar bahwa dirinya adalah manusia yang buruk. Masa lalu yang suram sangat berpengaruh terhadap dirinya saat ini. Brata dibesarkan dalam keluarga yang tidak jelas. Sampai saat  ini ia pun tidak tahu siapa ibu kandungnya. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang dikenal sebagai seorang preman.
Waktu berlalu begitu cepat dan di suatu senja di mana Brata selalu duduk termenung menatap matahari yang hendak dalam peraduannya, datanglah seroang gadis menhampiri Brata.
“Hai, masih kenal aku gak?” tanya gadis itu kepada Brata.
“Dewi?”
“Iya, masa kamu lupa?”
“Bener ini Dewi?”
“Iya, ini aku Dewi yang dulu kamu tolong saat aku tenggelam. Masa kamu lupa.”
“Aku ingat kok Wi. Bagaimana sekarang kabarnya?” tanya  Brata kepada Dewi.
“Aku baik-baik saja kok. Sebenarnya aku mau ke sini ingin berbicara kepadamu Brata,” jawab Dewi yang membuat Brata bingung. Tidak biasanya ada perempuan yang kenal padanya namun sekarang ada seorang gadis yang berada sangat dekat dengannya.
“Ada apa Wi?” tanya Brata dengan hati yang bertanya-tanya. Bersamaan dengan matahari yang tinggal sepucuk saja menyembul mungil di garis horizon, Dewi mencium pipi Brata. Tidak ada suara. Semua terbawa pada emosi masing masing. Saat itu adaah saat yang paling dikenang oleh Dewi sebelum semuanya tak menjadi miliknya lagi.
Cinta adalah suatu misteri. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak luput dari yang namanya cinta karena manusia memang diciptakan secara eksistensial bersamaan dengan lahirnya cinta itu sendiri. Senja itu menjadi abu-abu bagi Dewi karena sejak saat itu Brata, seorang yang liar namun memiliki hati bagai samudera memberikan sedikit harapan padanya namun ada sesuatu yang menutupi perasaannya kepada Dewi, yakni impiannya, cita-citanya, keinginannya, sebuah rasa untuk menjadi alat bagi Tuhan di dunia ini.
“Mengapa kamu menciumku?” tanya Brata kepada Dewi sesaat setelah semuanya kembali kea lam sadar mereka. Desiran angin senja membawa segala perasaan Dewi kepada langit, ingin rasanya memuntahkan rasa yang memang mengalir di hatinya untuk Brata setelah setengah tahun yang lalu Brata menolong Dewi yang tenggelam terseret ombak yang begitu besar. Sejak saat itu, Dewi memiliki cinta yang sulit untuk diungkapkannya. Hari-harinya dihabiskan di tepi pantai untuk sekedar memandang Brata dari kejauhan.
“Brata, Aku mencintaimu,” jawab Dewi dengan hati yang berdebar. Setelah setengah tahun lamanya ia ingin sekali mengungkapkan kalimat itu kepada Brata, akhirnya hari ini hal itu terjadi. Sesuatu yang menjadi impian Dewi, bersama Brata menjalani kehidupan yang memang sarat dengan tanda tanya.
“Mengapa baru sekarang kamu berkata padaku, Wi?”
“Memang kenapa? Terlalu lama yah?”
“Untuk saat ini ada sebuah rasa yang bergejolak dalam hatiku. Mungkin kamu pun tidak menduga perasaan yang ada padaku. Dahulu, setengah tahun yang lalu aku memang menyadari sebuah rasa yang tak bisa kudefinisikan padamu. Ada sebuah rasa bagiku untuk memilikimu, namun aku sadar bahwa aku manusia yang penuh dengan kekuarangan. Aku tak pantas untukmu, Wi,” ungkap Brata menjelaskan perasaannya dahulu kala.
“Maaf untuk itu Brat, aku tak kuasa mengungkapkan rasaku padamu. Aku begitu naïf sehingga aku hanya bisa berada jauh, mengambil jarak denganmu. Sebenarnya hari-hariku pun kuhabiskan di tempat ini. Memandangmu dari kejauhan. Aku tak punya nyali yang besar untuk berada di dekatmu,” kata Dewi dengan nada terbata-bata. Ia merasa terharu ketika mengetahui bahwa setengah tahun yang lalu Brata punya rasa yang sama dengannya, namun itu setengah tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang? Apakah Brata tetap mencitaiku? Apakah Brata memiliki rasa cinta yang sama kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Dewi, sulit rasanya untuk tidak menahan butiran-butiran air mata yang mulai menetes menuruni setiap lekuk pipinya.
“Maafkan aku Wi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Seiring berjalannya waktu perasaanku padamu tenggelam bersamaan dengan derai air di pantai ini menuju samudera luas. Aku tak lagi seperti dulu yang mempunyai perasaan itu. Terima kasih bila kamu mau jujur padaku pada hari ini. Namun sekali lagi maaf karena aku mempunyai cinta lain yang begitu kuat menarikku hingga tak kuasa bagiku untuk menolaknya,” jelas Brata kepada Dewi yang perlahan mengambil jarak dengan Brata.
“Iya aku tahu, Brat. Ini memang salahku. Aku harus menunggu begitu lama untuk memiliki keberanian mengatakan hal ini padamu. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan sekaligus harus dipaksakan. Lebih baik aku mengatakan hal ini padamu daripada aku menahannya lebih lama lagi. Aku mengerti kok Brat bahwa memang sulit mengharapkan cinta yang tak kunjung datang.  Terima kasih karena pernah mencintaiku,” kata Dewi dengan penuh gejolak jiwa.
“Terima kasih juga karena boleh mencintaimu. Perasaan hanyalah sebuah bias yang tidak bisa untuk dipungkiri. Aku tahu bahwa rasa itu tidak pernah berbohong. Maafkan aku Wi, hal ini terlalu sulit bagiku karena ada kekuatan lain yang lebih besar dari rasa cinta itu sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi seorang Pastur meskipun aku juga memiliki rasa itu padamu,” jelas Brata. Mendengar perkataan itu, Dewi pun kaget karena tidak mengira alasan Brata menolak cintanya. Dia tahu bahwa menjadi seorang Pastur adalah sebuah hal yang sangat jarang terjadi.
Hari telah menjadi gelap dan dua insan tetap duduk berdampingan memandang ombak yang perlahan semakin pasang. Bulan purnama telah menggantikan sang surya yang sedang tertidur pulas di belahan bumi yang lain. Malam itu adalah malam yang penuh dengan kasih mesra seorang calon Pastur kepada seorang wanita yang duduk di sampingnya. Mungkin ini adalah malam terakhir baginya untuk berada di dekat seorang wanita dengan perasaan cinta yang tak terselami. Memang cinta begitu rumit  untuk dirumuskan karena memang tak ada ilmu pasti yang dapat menjangkaunya. Cinta seperti samudera yang tak mungkin dapat ditampung oleh pikiran yang hanya sebesar botol. Cinta begitu luas dan tak terbendung maknanya. Biarah sang Pencipta cinta yang tahu dengan jelas siapa cinta itu sendiri.
“Maafkan aku ya Wi, keputusanku sudah bulat. Aku merasa terpanggil untuk menjadi seorang Pastur. Perasaan itu tak bisa lagi kututup-tutupi. Ada hal tak terlihat yang selalu memanggilku untuk meninggalkan segala yang kupunya demi segala yang akan kuperoleh dalam kebahagiaanku menjadi seorang Pastur. Maafkan aku sekali lagi,Wi,” begitulah Brata mencoba menguraikan segala perasaannya untuk menjadi seorang Pastur.
Dewi tak kuasa menahan tangis yang semakin lama semakin menjadi. Namun ia sadar bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Cintanya tak lagi disambut oleh cinta seorang Brata tetapi ia sekarang mengerti bahwa cinta itu seperti anak panah yang dilepas. Jika anak panah itu selalu berada dalam busurnya ia tidak akan pernah tahu kemana arah tujuan hidupnya sekaligus menyesengsarakan busurnya itu karena harus menahannya, namun ketika anak panah itu dilepas ia akan mencari sendiri jalan hidupnya dan itu membuat busur lega meskipun arah anak panah itu tidak sesuai dengan kehendaknya.
“Brata, aku mengerti kok dengan ini semua. Tidak ada yang bisa menghalangimu untuk sebuah cita-cita itu. Aku tidak mungkin bersaing dengan Tuhan yang telah mencintaimu lebih dahulu dari pada aku. Terima kasih ya Brat karena kamu boleh menjadi bagian dalam hari-hariku. Mungkin ini malam terakhir bagi kita untuk berdua bersama menikmati pantai yang indah dan penuh kenangan ini. Terima kasih, Brat,” ungkap Dewi yang memang mengerti akan perasaan Brata yang begitu luhur.
Keras, total dan merdeka adalah sifat yang selalu dimiliki dalam cinta. Ia begitu keras melebihi batu apapun, total dalam berprinsip dan merdeka dalam bertindak. Sejak saat itu Brata pun semakin yakin dengan pilihannya untuk menjadi seorang Pastur. Dengan kemerdekaannya ia telah memutuskan suatu yang berbeda dengan kebanyakan orang. Ia ingin mengabdi seutuhnya kepada Tuhan yang telah mencintainya jauh sebelum dunia dijadikan.
Delapan tahun kemudian Dewi kembali berjumpa dengan Brata. Saat ini situasinya telah berbeda. Di hadapan Brata, terlihat seorang lelaki yang ingin menerima berkatnya untuk kelasngsungan hubungan yang lebih jauh, Brata memberikan sakramen perkawinan kepada Dewi dan calon suaminya. Dengan kebesaran hati Brata menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan dengan amat baik. Ia tak lagi terbuai dengan masa lalunya dengan Dewi.
“Terima kasih ya Romo Brata. Aku sungguh bahagia hari ini karena telah menerima sakramen yang selamanya akan aku pegang teguh,” ungkap Dewi kepada Brata seusai misa perkawinan itu.
“Tetaplah berada di jalan Tuhan. Cintailah suamimu seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Selamat menempuh hari yang baru semoga kamu selalu mengalami kebahagiaan yang selama ini kamu cari.”
“Terima kasih Romo Brata, aku akan selalu pegang janjiku.”
“Amin.”

ketika hati sedang bergeming